02. Cerita Mimpi Rafel

780 24 0
                                    

Bagian 2 - Cerita Mimpi Rafel

👠👠👠

Apa yang terjadi kemarin, hanya terjadi kemarin. Kemarin romantis, besoknya romanshit. Itulah kalimat yang menggambarkan sosok Mas Darsa. Semalam aja dia memuja-memuja tubuhku, pagi ini langsung di lepeh begitu saja seolah tidak ada harganya.

“Sarapannya ini? Saya mana kenyang makan roti, Lika?!”

Ini adalah sapaan Mas Darsa setiap kali aku suguhkan roti panggang dan secangkir kopi. Kalau dia sudah menyebut namaku itu tandanya dia sudah jengah.

“Makan aja apa adanya, Mas. Aku telat bangun,” kalem aja aku balasnya. Santai olesin selai cokelat kacang di atas rotiku.

“Kamu ini ... selalu alasannya telat bangun. Sana buatin saya nasi goreng,” titahnya yang tidak bisa aku tolak lantaran nada suaranya sudah berubah menjadi lebih tegas.

Siaga satu!

Aku mengerjakan apapun perintahnya sembari mendumel dan aku yakin dia mendengar jelas dumelanku, meski suaraku pelan.

“Nyuruh-nyuruh bae. Dasar suami nggak pengertian. Nggak ngerti apa, istrinya lagi kecapekan habis diserang semalem. Bukannya di baik-baikin, manja-manja malah disuruh. Ck.”

“Bunda!”

Rafel tiba-tiba sudah berdiri di sampingku yang masih sibuk oseng-oseng nasi goreng di wajan.

“Awas panas, nak. Gih sama Ayah minta bantu mandi,” Rafel kayaknya baru bangun dan langsung menghampiriku. Anak itu masih setengah sadar dan mengucek kedua matanya dengan tangan mungil.

“U'ng. Tadi Rafel mimpi lho, Bunda,” cerita anakku yang segera kusambut dengan ceria dan antusias.

“Woah, benar? Bunda boleh tau nggak mimpinya Rafel?” aku bertanya sambil memindahkan nasi goreng ke beberapa piring.

Aku lirik Rafel yang mengangguk antusias dengan bibirnya yang tertarik ke atas. Dia kayaknya begitu senang akan mimpinya itu.

“Boleh,” jawabnya dan kemudian mengekoriku menuju meja makan sembari mulai bercerita. “Di mimpi tadi, Rafel punya adik, Bun. Adiknya cewe, hihi. Rafel juga bisa gendong adik, lho.”

Lho! Lho! Kok malah mimpinya yang itu? Gawat, nih kalau Rafel minta adik ke bapaknya. Bisa panjang urusannya.

Melihat antusiasme Rafel membuat bibirku ikut tertarik juga. Tersenyum melihat celotehnya yang nggak ada capeknya menceritakan adiknya yang begitu cantik di dalam mimpinya.

“Rafel bahagia nggak di mimpinya punya adik?” sebenarnya ini hanya sekedar basa-basi agar anakku nggak merasa terabaikan. Sesekali kulirik Mas Darsa yang begitu kalem memakan sarapannya.

Kepala Rafel mengangguk berkali-kali tanda dia sangat bahagia. “Senang. Kan adiknya cantik.”

Aku hanya tersenyum sembari mengusap kepalanya penuh kasih sayang.

“Ayah!”

Siaga dua!

Jangan bilang Rafel mau minta adik ke bapaknya, nih?

“Iya, kenapa?” atensi Mas Darsa sepenuhnya pada Rafel.

“Rafel boleh minta adik, nggak? Soalnya minta ke Bunda, kata Bunda mintanya sama Ayah.”

Detik itu juga pandangan kami—aku dan Mas Darsa—saling bertubrukan. Hampir aja aku mendengus ketika melihat alisnya naik sebelah seolah menantangku. Begitu menyebalkannya muka itu sekarang.

“Bunda bilang gitu?” kini Mas Darsa bertanya pada anak kami yang kemudian di balas dengan anggukan pasti dari Rafel. “Rafel berdoa aja, semoga adiknya cepat jadi.”

7 Years MarriedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang