07. Camping Playdate Rafel

424 25 0
                                    

Bagian 7 - Camping Playdate Rafel

👠👠👠

Rupanya Mas Darsa beneran datang pagi tadi sesuai janjinya semalam. Masih jelas diingatan ketika pagi tadi Mas Darsa datang, wajahnya begitu kentara lelah. Tiga harian disana membuat Mas Darsa tampak satu tahun lebih tua. Agak lebay, sih, tapi memang beneran begitu dari sudut pandangku.

Saat ini kami sudah berada di puncak. Lokasi yang menjadi camping playdate Rafel bersama teman-teman sekolahnya. Kami baru saja selesai mendirikan tenda masing-masing. Rafel sudah lari bermain dengn temannya. Meninggalkan aku berdua dengan Ayahnya yang sesungguhnya tidak begitu akur banget hari ini.

“Nanti kalau Rafel nyariin saya, bilang saya lagi tidur di tenda,” beritahu Mas Darsa padaku yang tak kujawab dan hanya meliriknya yang langsung berlalu masuk ke dalam tenda.

Sedikit kasihan juga aku melihat Mas Darsa yang berusaha terlihat baik-baik saja demi memenuhi janjinya pada putra kami. Nyetir selama dua jam setelah sebelumnya melakukan penerbangan dari luar kota pasti sangat menguras tenaga Mas Darsa.

Selagi aku mengeluarkan alat dan bahan barbeque untuk nanti malam kami nikmati bersama, Rafel datang menanyakan Ayahnya.

“Ayah lagi istirahat di dalam,” aku segera mencegah Rafel ketika hendak berlalu dan mungkin ingin membangunkan Ayahnya. “Ayah lagi tidur, nak. Jangan di ganggu dulu, ya?”

Alis Rafel mengerut tidak suka. Pipinya memerah seperti tomat terkena panas matahari. Juga napasnya tersengal-sengal karena terlalu asik berlarian bersama temannya.

“Tapi... Bunda, Rafel mau main sama Ayah. Temen-temen Rafel main bola juga sama Ayahnya, cuman Rafel yang enggak.”

“Iya, tapi nanti. Ayah biar istirahat dulu,” bujukku mencoba memberinya pengertian.

Sebelum Rafel kembali membantah, segera aku menarik lengannya dan memangkunya agar perhatiannya teralihkan, namun sepertinya tidak mempan, karena Rafel mulai memberontak membuatku sedikit kewalahan menahan bobot tubuhnya.

“Ada apa?” Mas Darsa tiba-tiba muncul dengan wajah bangun tidurnya. Matanya memerah dan rambutnya sedikit berantakan.

“Ayah!” Rafel secepat kilat mendekap kaki Ayahnya. Merengek ingin segera mengajak Ayahnya bermain bola.

“Lho, kamu enggak tidur, Mas?” baru lima menit lalu dia mengatakan ingin istirahat dan sekarang sudah bangun. Padahal setahuku, Mas Darsa itu orangnya paling susah dibangunin.

“Tidur... tapi kebangun,” Mas Darsa mengkode ke arah tanganku. Tepatnya pada air botol yang beberapa saat lalu ku minum bersama Rafel.

“Terus kenapa nggak lanjut tidur? Kamu juga harus istirahat. Jangan sampai nanti Mas malah sakit disini,” tuturku setelah memberinya sebotol air minum.

“Sudah telat kayaknya.”

“Telat apa?” tanyaku tak mengerti maksudnya. Kupandangi wajah lelahnya yang saat ini terpejam.

“Saya udah kurang enak badan rasanya. Kayaknya kurang tidur juga, makanya kepala sampai migrain daritadi,” gumamnya lirih mengabaikan rengekan Rafel yang berusaha menarik tangannya untuk berdiri.

“Ayah, ayo!” rengekan Rafel kembali terdengar. Bahkan kali ini suaranya lebih tinggi dan membuat Mas Darsa terpaksa mengikuti kemauannya.

“Mas, jangan,” aku mencegah Mas Darsa dan ketika kulit kami tidak sengaja bersentuhan, aku melotot merasakan hangat tubuhnya. “Mas kamu demam!” beritahuku.

“Iya. Nanti tolong carikan saya obat di kotak obat. Saya mau temani Rafel.”

“Mas!”

“Dadah, Bunda!”

7 Years MarriedWhere stories live. Discover now