10. Awal Jumpa

406 23 0
                                    

Bagian 10 - Awal Jumpa

👠👠👠

Manado, 7 tahun lalu

Umurku 25 tahun waktu itu ketika mengenal Mas Darsa. Sedangkan umur Mas Darsa kala itu 36 tahun kira-kira. Awal kami kenalan itu sebenarnya tidak terduga dan mengalir begitu saja.

Awal hubungan kami di mulai ketika...

Kami bekerja di perusahaan yang sama. Mas Darsa sebagai arsitek profesional, sementara aku desain interior. Suatu hari kami mendapat proyek yang sama keluar kota selama sebulan. Mas Darsa yang dulu dan sekarang sangat beda jauh. Mas Darsa yang dulu adalah sosok yang ramah, murah senyum, dan mungkin itu lah yang membuatku akhirnya jatuh hati padanya.

“Untuk Darsa, kamu dapat proyek di Manado selama sebulan, atau bisa saja lebih kalau tidak ada kendala... dan saya sudah ajukan Lika untuk membantu disana,” ucap Pak Dika selaku atasan kami.

Proyek yang di maksud Pak Dika ialah pembangunan restoran. Jika bahan bangunan lengkap, bisa jadi enggak sampai sebulan proyek ini selesai. Sebenarnya bukan hanya kami berdua saja yang kesana, kami punya tim lain yang membantu.

“Bagaimana Lika? Siap bertempur?” Mas Darsa menghampiriku ketika jam istirahat kantor.

Aku yang tidak menduga kedatangannya, mendongak menatapnya juga membalas senyumnya. “Siap dong Mas!”

Meski posisi jabatan Mas Darsa di atasku, dia melarang kami memanggilnya 'Pak', katanya biar terlihat muda dia menyuruh kami menyebutnya 'Mas'.

“Saya suka semangatmu,” Mas Darsa terkekeh geli melihat semangatku yang berkobar. “Tapi, awas lho ya, pas pertengahan proyek nanti kamu malah minta ganti.”

Terdengar mengancam, sih, tapi ku anggap sebagai guyonan Mas Darsa belaka. “Enggak, dong Mas. Kan ada Mas Darsa, jadi pasti saya bakalan lebih semangat nanti,” candaku.

Tawa Mas Darsa hampir tersembur menanggapi ucapanku. Tangannya kemudian terjulur mengusak puncak kepalaku. Akhir-akhir ini kami memang terbilang dekat, entah kenapa bisa. Tapi yang pasti, Mas Darsa tiba-tiba sering menghampiri meja kerjaku mengajakku ngobrol dan bercanda. Terkadang juga melempariku candaan yang bersifat dewasa dan pasti akan selalu kutanggapi dengan candaan yang sama.

“Saya juga nih kayaknya. Karena ada kamu, makanya sekarang saya lebih semangat.”

Kami berdua kompak terbahak-bahak setelahnya. Sudah sering saling melempar candaan seperti ini, tapi sejauh ini hubungan kami masih ada batasannya.

“Berangkatnya kapan, sih, Mas?” tanyaku kemudian.

“Lusa. Mau saya jemput di rumahmu?”

“Enggak usah, Mas,” sanggahku cepat takut merepotkan. “Titik kumpulnya di bandara 'kan Mas?”

Mas Darsa mengulum senyum dan mengangguk sembari menatapku. “Padahal saya mau tawarin kamu tumpangan gratis, lho, Lika,” tukasnya dengan nada dibuat kecewa.

Aduh, kalau begini ceritanya, aku beneran tidak enak kalau harus menolak kedua kalinya, tapi menerima tawaran Mas Darsa juga bukan pilihan yang benar. Apa kata para teman kerja kami nanti kalau melihat kami datang bersama.

“Nanti Mas repot jemput saya, soalnya rumah kita kan beda arah, Mas,” jawabku ngasal. Mana aku tahu rumah kami beda arah, aku hanya menebak.

Mungkin juga Mas Darsa menangkap sikap keenggananku, jadinya dia mengangguk dengan bibir mengulum senyum. Jujur aku terpana melihat senyum tipisnya itu, dan apalagi ketika tangannya juga terangkat mengacak rambutku. Mletoy!

7 Years MarriedWhere stories live. Discover now