Mencari kebenaran kematian Alice#8

65 2 0
                                    

"Alice... Apa bener, lo yang nglakuin ini? Mereka nuduh kita, sementara gue juga nggak tau apapun. Lo, tenang kan, disana?" tanya dewi, sembari duduk berjongkok di dekat makam Alice.
"Kalo emang bener, lo yang udah bunuh Henky dan juga Callista. Kenapa lo harus tega lakuin itu?" sambungnya lagi.
Hanya suara angin yang bersahutan, daun-daun di pepohonan berguguran terhempas angin. Gumpalan awan hitam menghalangi sinar mentari di siang itu. Rintik gemercik mulai jatuh ke permukaan bumi.
Duar!!!
Keras dentuman petir mengarahkan pandangannya ke atas langit. Gerimis air menetes di sebelah pipinya.
Hujan.

"Yah... Hujan, gimana nih, pulangnya?" tanya Elisa.
"nyokap lo, belum jemput?" tanya Alice.
"Nggak, hari ini gue mau naik Bus lagi, soalnya nyokap gue sibuk sama kerjaan di kantor" jawab Elisa.
"Yaudah, nanti kita bareng ya, ke halte?" ajak Dewi.
"gue mau sendiri, soalnya sebelum pulang, gue harus mampir dulu ke Indomart buat beli titipannya nyokap" jawab Elisa.
"oh... Yaudah kalo gitu," jawab Dewi. Dari gerak gerik dan nada bicara Elisa, dia mengerti jika temannya itu tidak nyaman dengan keberadaannya. Tapi tidak masalah, masih ada Alice yang mau tulus berteman dengan dirinya.
"Gimana kalo kita pulangnya bareng-bareng aja sekalian? Terus gue sama Dewi, nemenin elo belanja?" tanya Alice pada Elisa.

Huft, padahalkan belanja ke indomart hanya dijadikan dia alasan supaya tidak pulang bareng Dewi. Dia sih tidak apa-apa jika yang menemaninya itu asalkan hanya Alice, selama ini juga mereka kadang pulang sekolah berdua.

"ayo," ajak Alice, sambil menggandeng tangan kedua temannya.
"kita mau nekat nih? Ini masih lumayan deres loh hujannya," tanya Elisa, posisi mereka berada di parkiran sekolah.
"biarin, besok kan, hari jumat udah ganti seragam" jawab Alice, kemudian tak menunggu waktu lama lagi, dia langsung menarik tangan kedua temannya.
Mereka berlarian menembus air hujan dan untuk demi melindungi buku di dalam Tas agar tidak basah, mereka memeluk Tas masing-masing.

Sebuah payung melindungi tubuhnya dari air hujan. Dia mendongakkan kepalanya.

"ayo, balik" ajak lelaki itu.

Dewi berdiri, kemudian beradu tatap dengannya, dibawah payung hitam yang masih dipegang oleh lelaki itu.

"Lo, ngapain disini?" tanya Dewi.
"Abis ziarah di makam temen gue," jawab Afriza.
Makam temannya? Ternyata juga dikubur disini, pikirnya.
"ayo buruan," ajak Afriza.
Keduanya pun, sama-sama beranjak meninggalkan tempat.

***

Dewi berada di dalam mobil Afriza, duduk di kursi bagian depan, sembari mengusap-usap kedua telapak tangannya. Suhu pada saat situasi hujan, memang dingin.
Afriza melihat dia yang tengah kedinginan pun, melepas jaket hitamnya.

"Nih, pake jaket gue" ujar Afriza, sambil mengenakan jaket itu di bahu Dewi.
Dig dug dig dug dig dug
Hm. Apa ini akan menjadi kebiasaan dia mendekatkan wajah tampan ala korea nya tepat di dekat wajahnya?
Hey jantung! Stop, tenang, rileks, buang nafas pelan, jangan gugup dan jangan terlihat salting brutal di depannya.

"kenapa lo? Terpesona ya?" tanya Afriza.

Astaghfirullah! Ya Allah, Istighfar! Apa cowok ini indigo atau semacam mempunyai telepati. Kenapa dia bisa tahu, jika jiwanya tengah menahan salting brutal. Apa dari mimik wajahnya tetap masih kelihatan? Astaga sia-sia ini. Kini pipinya berwarna merah jambu.

"Apasih, GR!" jawab Dewi, melihat Afriza kini telah kembali ke posisinya lurus menghadap Stir mobil.

Afriza tertawa jaim, sambil menggelengkan kepalanya. "sorry bercanda,".

Dewi mengerucutkan bibirnya dan memutar kedua bola matanya. Dia kesal, karena Afriza nyaris membuatnya terpaksa menunjukkan rasa saltingnya.
Saat pandangan cowok itu mengarah ke sisi kaca jendela di sebelahnya, Dewi mengambil kesempatan itu dengan senyum sekilas, sembari menutup mulut dengan tangannya. Ngomong-ngomong jaketnya terasa sangat wangi, tidak kalah dari bau kemenyan.

"gue liat-liat tadi, Alice ternyata emang penting di dalam hidup lo," ujar Afriza.
Dewi setengah menunduk. "iya gitu lah, selama ini di sekolah gue nggak punya temen, tapi untungnya pas semenjak gue kenal dia, akhirnya gue nggak ngrasa kesepian lagi deh,".
"kalo sekarang?" tanya Afriza.
Lalu Dewi menoleh ke arahnya. Tidak. dia ingin mengatakan kalimat itu. Karena sekarang sudah ada dia sebagai pengganti Alice.
"Dia pasti juga seneng, karena semasa hidupnya pernah ngrasain punya banyak temen. Termasuk punya temen setia kayak lo," ujar Afriza.
"Alice itu anaknya cantik, pinter lagi. Jadi pantas kan, punya banyak teman?" tanya Dewi.
"Nggak semua orang ganteng, ataupun cantik, terlahir dengan wajah sempurna dan mempunyai masa lalu yang bahagia. Sebagian dari mereka, terlahir dari hasil perjuangan mereka masing-masing. Ada banyak dari mereka hebat menutupi masa kelamnya, dengan seulas senyum yang ditunjukkan di depan semua orang dan akhirnya orang-orang melihatnya hanya bisa dari sisi kesempurnaannya" jawab Afriza, sembari menatap lurus kaca depan mobil, yang sudah dibanjiri oleh air hujan.
"Dan nggak semua orang memiliki fisik sempurna, harta kekayaan, merasakan bahagia. Mereka juga bisa merasakan rasa kesepian. Kita manusia, pasti punya rahasia dan masalah tersendiri yang nggak harus semua orang tahu" sambungnya lagi.

"gue kalo lagi ngrasa badmood atau kesepian gitu, pasti muter lagunya Gfriend" ujar Alice.
"emang cewek cakep kayak lo, bisa ya ngrasa kesepian?" tanya Dewi.
"emang ada yang bilang ya, kalo cewek cakep nggak boleh ngrasa kesepian?"
"nggak ada sih," jawab Dewi, sembari menggaruk kepalanya.

Sempat tak sadarkan diri, Dewi terlalu fokus menatap dan menyimak ucapan Afriza. Terdengar seperti kata-kata mutiara tapi terlalu panjang bak Novel.

"selama ini, gue nggak tau masalah apa yang dipendam sama Alice, soalnya anaknya keliatan ceria banget" ujar Dewi.
"Dan, mangkannya lo sampe belum ngerti tentang rumor itu kan?" tanya Afriza.
"sebenarnya, Alice punya masa kelam. Persis kayak yang elo alamin sekarang" sambungnya lagi.
Dewi tercengang. "Lo tau tentang Alice?"
"Dia bukan Alice, tapi Anisa. Sorry gue harus bilang gini. Sebenarnya, Anisa dulunya pernah operasi plastik karna dia nggak cantik dan waktu SMP sering di bully sama teman-temannya. Terus pas mau awal masuk SMA, dia gue suruh buat ngrubah semua identitasnya, supaya teman-teman yang udah pernah ngebully dia, nggak bisa ngenalin dia lagi" jawab Afriza, sembari menatap mata Dewi, yang terlihat sangat tercengang dengan pengakuannya.
"Jadi, teman cewek yang elo maksud itu, Alice? Em... maksud gue, Anisa?" tanya Dewi.
Afriza mengangguk. "Gue ngrasa, arwah Anisa marah, karna dulunya dia juga pernah di bully dan mangkannya Henky sama teman-temannya yang jadi sasaran utama"
"Apa ini alasan lo pulang kesini? Terus apa rencana lo sekarang?" tanya Dewi.
"gue mau cari tau lebih dulu tentang kematian Anisa yang sebenarnya, soalnya gue kurang yakin dia gentayangan, karna cuma sebatas penyebab trauma masa lalunya" jawab Afriza.
"Dia kan, meninggal karna kecelakaan" jawab Dewi.
"kecelakaan gimana? Tabrak lari? Belum pasti kan, ada yang bilang itu rumor" ujar Afriza
Dewi mengingat tepat di hari kejadian itu, ketika dia melewati ruangan kelas Alice, XII IPS1. Suara riuh tangisan memenuhi kelas itu. Kemudian, Dewi bertanya pada seorang anak dari kelas lain, yang kepo ingin ikut melihat suasana di kelas itu.

"itu pada kenapa di dalam? Kok nangis,"
"Alice, kabarnya meninggal tadi pagi karna kecelakaan"

Mendengar ucapan itu, dunia seperti alam mimpi. Dia menolak untuk percaya, jika temannya telah meninggal dunia.
Waktu di hari yang sama sekitar jam 1 siang, satu sekolah melayat ke rumah Anisa. Kecuali Elisa, hari itu dia tidak masuk sekolah katanya sakit.

"Nggak ada saksi mata yang ngliat kejadian itu langsung, dia ditemuin udah nggak bernyawa di Jl. Melati" ujar Dewi.

"kita bahas nanti lagi aja, lebih baik kita pulang sekarang" ujar Afriza.

Dewi pun mengangguk. Kemudian sebelum mobil meluncur, keduanya sama-sama mengenakan sabuk pengaman.

Rahasia AliceDove le storie prendono vita. Scoprilo ora