Kecurigaan#9

35 1 0
                                    

Baca Elit, Vote sulit:)

Gemuruh petir kian terus menyambar, hujan lebat meredam suara di sekitarnya. Serta angin kencang turut bersahutan. Saat ini listrik padam, kamarnya menjadi agak gelap karena masih terbantu oleh pantulan cahaya dari luar melalui jendela.
Dia masih terpelungkup menangis, setengah badannya tertutup oleh selimut.
Beberapa saat, benda pipih di sampingnya berdering. Tertera nama Fara di layar panggilan masuk. Kemudian dengan cepat, dia mengangkat panggilan itu.

"Gres, lo lagi dimana?"
"Gue ada di rumah, pokoknya besok kita labrak Dewi"
"Buat apa kita labrak dia lagi? Percuma Gres, sia-sia"
"Maksud lo, apa ngomong gitu? Kalo kita diam aja, waktu kita cuma tinggal selangkah lagi, giliran nyusul Callista buat mati. Lo emang mau mati sekarang ha?"

Dengan kasar, Gresya langsung menekan fitur akhir panggilan. Di dalam pikirannya terus terbayang oleh sosok wajah mengerikan. Malam itu, tidak hanya Callista yang melihat penampakan Alice, kedua temannya juga bisa melihatnya dan akhirnya keduanya sadar, penyebab Callista naik ke atas panggung adalah karena sudah dikendalikan olehnya.

"Non Gresya? Udah makan belum? Ini Bibi bawain makanan sama susu putihnya," Panggil seorang asisten rumah tangga dari balik pintu kamarnya yang terkunci. Entah sudah berapa jam Gresya mengurung diri di dalam kamar.

Karena memang sudah tak tahan menahan rasa lapar, disingkirkannya selimut itu dan turun dari ranjang.
Setelah itu dia bergegas membuka pintu kamar.
Ceklek. Pintu telah dibuka. Dia dihadapkan oleh sebuah nampan berisi sepiring nasi dengan lauk ayam geprek, serta 1 gelas susu putih.
"Makasih ya Bi," ujarnya, sembari meraih nampan itu.
Gumpalan belatung memenuhi piring dan terisi cairan merah pekat di dalam gelas.
Dia tersontak dan reflek menjatuhkan nampan itu.
Niat ingin memarahi Bibinya, karena makanan dan minuman yang baru saja dia lihat, kenapa tiba-tiba bisa berubah menjadi belatung dan darah. Tepat saat pandangannya menoleh ke arah Bibi, dia melihat wajahnya pucat berlumuran darah, serta hitam kedua bola mata terkesan tajam menatapnya. Dia bukan Bibi.
"Aaaaaaaaaaa!!!!!!!!!! "

***

Akhirnya, sampailah mereka di pagar depan rumah Dewi. Situasi diluar masih hujan deras. Sebelum membuka pintu mobil, Dewi mengucap terimakasih pada Afriza, karena sudah mengantarnya.

"Biar gue antarin pake payung," tawar Afriza
"Nggak usah, gue bisa lari" jawab Dewi
"Sama aja, nanti lo kebasahan"
"Nggak usah. Udah setelah gue turun, lo langsung balik aja. Nanti takut dimarahin nyokap gue kalo pulang bareng sama cowok. Nanti malah disangka macam-macam deh"
"yaudah tinggal bilang, kalo kita cuma temen sekelas. Beres kan?"
"Iya.. Tapi,"

Ditengah sedikit kegaduhan itu, Ani keluar dari pintu rumahnya dan memperhatikan detail sebuah mobil yang ditumpangi oleh mereka. Kaca jendela mobil berwarna hitam, nontransparan. Sehingga ibunya tidak bisa melihat seseorang di dalamnya.

Belum usai melanjutkan ucapannya, pandangan Dewi menoleh ke arah depan rumah dan mendapati ibunya sudah berdiri disana.

"Waduh, nyokap gue udah keburu keluar lagi"
"Itu nyokap lo?" tanya Afriza. Melihat wanita cantik, berambut panjang tergerai anggun. Dengan hiasan jepitan dibelakang, yang menyatukan separuh helaian rambutnya.
"Ternyata nyokap lo, lumayan awet muda juga ya?" Puji Afriza, terkagum.
Cantik. Memang, kenapa anaknya berbeda jauh? Mungkin dirinya anak adopsi yang dulu di ambil dari panti asuhan. Makinya dalam hati.
"Yaudah, cepet ayo turun" Pasrahnya. Sekarang percuma, Dewi sudah tidak bisa sembunyi-sembunyi lagi.

Afriza tersenyum penuh kemenangan. Kemudian keluar dari mobil, dengan mengenakan payung. Dia berlari kecil mengitari mobil, lalu membukakan pintu untuk Dewi. Setelah sama-sama turun dari mobil, keduanya berlari tertatih-tatih menuju teras depan rumah.

"Assalamualaikum bu," ujar Dewi, sembari bersalaman dengan ibunya.
"Walaikumsallam," Jawab Ani
"Assalamualaikum juga, Tante" Sambung Afriza, sambil menunduk sopan. "Saya Afriza, teman sekelasnya Dewi. Kebetulan tadi kita bareng habis dari pemakaman dan sekarang saya antar Dewi sampai rumah" Jelasnya dengan jujur.
"Bentar, ini bukannya Afriza yang pernah muncul di fyp youtube itu kan?" tanya Ani, dengan ekspresi wajah penuh semangat. Sementara Dewi melirik ke arah Afriza, merasa tingkah ibunya saat melihat kedatangan cowok itu, ternyata di luar dugaannya.
"Astaga, iya bener! Kamu kan suka bikin konten nyanyi. Asli, suara kamu bagus banget tau. Saya sering loh, dengerin lagu kamu kalo lagi beres-beres rumah" Puji Ani, panjang lebar.
Afriza sedikit tertawa. "Iya, Tante Makasih"
"Jadi tenyata ini anaknya, yang kamu bilang ganteng mirip oppa oppa korea? Kenapa nggak bilang, kalo dia Afriza yang suka nyanyi di youtube itu?" Tanya Ani, sambil mencolek lengan Dewi.
Mana Dewi tahu? Jika selama ini ibunya ngefans sama dia. Lagipula, Dewi orangnya kurang update sosial media dan yang paling sering dia dengar hanya lagu-lagu kpop di aplikasi spotify.
"ih, ibukk!" ujarnya, kemudian menutup mulut ibunya, sembari menahan rasa malu.
Kini Afriza GR nya semakin di level tingkat dewa. Afriza menunjukkan tatapan meledek, sementara Dewi hanya bisa membuang muka.

"Yaudah ayo masuk dulu," ajak Ani, pada Afriza.
"Makasih Tante, saya langsung balik aja" tolak Afriza
"Hujannya masih deres banget loh ini. Mau nekat?" Tanya Ani
"Nggakpapa Tante, saya kan naik mobil. Toh, saya harus bener-bener pulang sekarang"
"Yaudah kalo begitu. Hati-hati ya, di perjalanan"
"Iya, Tante"
Kemudian, dia beralih mendekati Dewi. "Kita omongin besok lagi, pas di sekolah aja" bisiknya.
Lalu dia sempurna mengangkat wajahnya lagi dan tersenyum menatap ibunya Dewi. "Assalamualaikum, Permisi Tan"
"iyaa, walaikumsallam"

***

Hari sudah malam, hujan juga sudah reda sejak jam lima sore tadi. Dia berdiri menghadap pintu lemari, menatap jaket hitam yang digantung di gagang pintu lemari, menggunakan hanger.
Tadi keduanya sama-sama tidak menyadari tentang jaket itu. Besok saja, Dewi akan mengembalikannya.
Alice, atau Anisa. Dia beruntung pernah mengenal sosok lelaki seperti Afriza. Kebaikan cowok itu, sekarang juga bisa ikut dirasakan olehnya.
Ternyata luka yang dirinya alamin, tidak sebanding dengan yang sudah dilalui olehnya.
Terimakasih, karena selama ini dirinya mungkin masih bisa lebih kuat darinya.

Kemudian, Dewi berjalan mendekati Foto berbentuk polaroid. Yang pernah di ambil bersama dengan Anisa, waktu di Mall. Foto-foto itu tertempel di dinding kamar, berisi kenangan mereka mengenakan seragam sekolah dan iseng mengenakan bando kelinci, dengan bergaya pose random. Sebenarnya ada Foto Elisa, tapi dia malas memajangnya, karena mengingat sikapnya sudah jelas tidak suka padanya.

"Bilang, ini semua gara-gara lo, arwah Alice jadi gentayangan!"
"semalam arwahnya Alice, juga datangin gue, Dewi gue takut!"

Di hari kematiannya, sama sekali dia tidak melihat Elisa. Dia sakit. Jika pun sakit, seharusnya dia menyempatkan waktunya untuk ikut melayat ke pemakaman. Kabar itu pun, juga sudah di share lewat komunitas sekolah.
Kemudian besoknya, dia sudah kembali masuk ke sekolah lagi.

"Kok, lo kemarin nggak masuk? Kenapa?" tanya Dewi
"Gue, sakit" jawab Elisa
"Kemarin, lo nggak ikut nglayat?"
"Udah tau kan, kalo gue sakit? Ya mana bisa ikutan nglayat, aneh lo!"
"Sekarang lo udah sehatan, minimal di usaha in nglayat ke makam temen sendiri kan?"
"Sumpah, lo tuh bawel!" Kemudian, Elisa beranjak pergi meninggalkannya di tempat.

Dewi merasa, kali ini memang ada sesuatu di balik kematian Anisa. Kali ini dia berjanji, akan turut membantu Afriza mencari tahu kebenarannya.

Rahasia AliceWhere stories live. Discover now