Tiga; Dia Juandra

46 8 8
                                    

Hembusan angin pagi yang segar menyambutku ketika kaca pintu mobilku terbuka, seolah-olah membisikkan janji-janji baru untuk hari ini. Mataku tertuju pada panorama bangunan rumah yang unik dan beragam, setiap detailnya menceritakan kisah tersendiri.

Anak-anak sekolah dengan seragam yang mirip denganku bergegas menembus pagi, mereka ada yang berboncengan di motor, ada juga yang naik ojek, dan beberapa yang berjalan beriringan dengan teman-temannya. Senyum simpul menghiasi wajahku, sebuah ungkapan rasa syukur yang tulus untuk hari yang indah ini.

"Lin!"

Gadis ceria yang baru aku kenal kemarin itu menghampiri dengan senyum manisnya saat aku berjalan masuk ke gerbang SMA Harapan Bangsa. Raisya merangkulku, mengajakku agar berjalan beriringan menuju kelas.

Aku menoleh, tersenyum padanya lalu tertawa, ikut merasa bahagia melihat pagi ini Raisya sudah ceria. "Selamat pagi, Rai. Ceria banget ya, kamu. Ada apa nih?"

"Pagi juga, Lin! Iya, dong. Tadi gue berangkat bareng Zaki, Lin! Aaa ... rasanya energi gue nambah buat hadapin sarapan fisika pagi ini!"

Aku lihat mata Raisya sangat berbinar saat menceritakan itu. Sepertinya, Raisya sudah di level jatuh cinta sekali dengan Zaki. Aku hanya mengulas senyum sambil menggelengkan kepala, antusias Raisya menyusul, gadis itu mengguncang-guncangkan tanganku gemas sampai tiba di kelas.

Suasana di kelas 11 IPA 4 ini, sangat tenang sampai waktu istirahat tiba. Aku sengaja menolak ajakan Raisya untuk ke kantin karena sedang menulis materi yang tertinggal. Lagipula, Raisya ke kantin bersama Zaki, aku tidak enak jika nantinya mengganggu mereka.

"Tak sadar kutemukan ...."

Saking menikmati acara menulis materi, aku bersenandung pelan, menyanyikan salah satu lagu kesukaanku. Kalimat-kalimat yang kutuliskan ke buku membuatku sangat fokus, sampai tidak mengacuhkan orang-orang yang masih ada di kelas ini.

"'Kan kuarungi tujuh laut samudra ...."

"'Kan kudaki pegunungan himalaya ...."

"Apapun 'kan kulakukan 'tuk dirimu sayang, oh penjaga hatiku ...."

Hanya tinggal sedikit lagi, tugasku hampir selesai. Aku memilih untuk tenggelam dalam hening sejenak, berusaha menuntaskan pekerjaan ini. Namun, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang berbeda, sebuah hembusan udara hangat yang terasa di dekat telingaku. Refleks, ekor mataku melirik ke samping, dan ternyata itu adalah napas Juan.

"Dor!"

Kejutan itu membuatku terhenti sejenak, namun Juan malah terkekeh, tertawa dengan nada yang tak berdosa, sambil memperhatikan tulisanku yang telah melampaui garis buku.

"Hai, Lin!" ucapnya dengan suara yang penuh semangat sambil beranjak duduk ke bangku depan mejaku, memandang wajahku yang tampak geram. "Maaf, Lin! Hahahah ... udah dong! Jangan natap aku sinis gitu!"

Aku hanya bisa menghela napas panjang, berusaha meredam rasa kesal yang mulai memuncak. Sejujurnya, aku merasa sangat terganggu, terlebih hari ini adalah hari pertama siklus menstruasiku. Mood yang seharusnya baik, seketika hancur hanya karena ulah Juan.

Merasa diabaikan, Juan melipatkan kedua tangannya ke meja lalu menaruh kepalanya di atas lipatan tangan itu, memajukan kepalanya juga agar mendekat ke arahku. "Yah ... kamu marah?"

Selesai. Tugasku sudah tuntas. Aku melipat buku lalu membereskan alat tulis, mengabaikan Juan yang masih di posisi yang sama. Moodku benar-benar aneh rasanya. Sekarang aku sedang menahan tawa melihat Juan hanya memperhatikanku memasukkan buku-buku ke tas. Anak itu persis seperti kucing yang sedang menunggu makanan!

"Lin?" panggil Juan lagi.

Aku menghela napas, mencoba menahan tawaku yang nyaris terdengar. "Apa, Juan? Kamu tadi kenapa? Memangnya sopan ya, begitu?"

Air muka Juan langsung berubah, cowok itu mengangkat kepalanya sambil menautkan alis. "Maaf, Lin. Aku tadi pengin denger suara kamu. Merdu banget soalnya, lembut."

Aduh, yang seperti ini buaya bukan, ya? Senyumku tak bisa tertahan rasanya. Aku malah tertawa melihat muka Juan berubah pucat, seperti takut akan kesalahannya itu. Hahahah! Maaf Juan, ini memang sepele. Tapi jujur, tadi aku merasa sangat kesal diganggu seperti itu. Namun jika dipikir kembali, lucu juga, ya!

"Kok ketawa? Kamu pura-pura marah, ya?" kata Juan.

Aku hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Kulihat Juan menghembuskan napas seraya tersenyum tipis, lalu berdiri mengambil sesuatu di tasnya. Juan membawa selembar kertas berwarna seperti poster promosi, dia mengulurkannya padaku.

"Ini biodata ekskul band sekolah, Lin. Gabung, yuk? Kita emang lagi nyari vokalis perempuan, buat duet samaku di lomba akhir bulan nanti. Suaramu bagus banget, cocok."

Aku tersenyum lalu menerima poster yang Juan ulurkan itu. Setelah dibaca-baca, memang menarik juga. Hatiku tertarik untuk mengikutinya, apalagi yang mengajaknya Juan langsung.

"Sekarang latihan. Kamu boleh liat dulu, kok. Itung-itung denger aku nyanyi full satu lagu juga. Katanya waktu malam, pengin dengerin aku nyanyi?"

Alisku tertaut melihat wajah percaya diri Juan. "Kapan ya, aku bilang gitu ke kamu?"

Juan malah tertawa, lalu beranjak duduk di bangku depan mejaku lagi. "Jadi gimana? Mau enggak?"

Aku mengulum bibir, sesekali melihat poster dan Juan bergantian. Lumayan juga, sih. Aku memang belum mengikuti kegiatan lain selama sekolah menengah atas ini.

"Iya, boleh," jawabku.

"Yes! Makasih banyak, Lin!" Juan tersenyum lebar padaku. Bahaya sekali memang senyumannya, maka dari itu, langsung saja aku menundukkan pandangan.

~oO0Oo~

Aku merasakan semangat dan kekompakan yang begitu kental saat memasuki ruangan band sekolah. Dinding-dinding ruangan itu dipenuhi oleh poster-poster band favorit dan alat musik yang tergantung dengan rapi. Cahaya lampu sorot yang terang menerangi panggung kecil di tengah ruangan, menciptakan suasana yang penuh energi.

Alunan musik memukau sudah mengalun sejak satu menit yang lalu. Suara gitar yang menggelegar, dentingan drum yang menghentak, dan getaran bass yang menggoyangkan ruangan.

Di tengah-tengah harmoni musik yang tercipta, suara indah dari Juan menyatu dengan sempurna. Suaranya melengkapi musik dengan nada yang begitu indah dan menggetarkan hatiku.

Setiap nada yang dinyanyikan oleh Juan membawa aku dalam perjalanan emosional yang mendalam. Suaranya mampu menghipnotis dan mengisi ruangan dengan kehangatan. Aku tak bisa menahan diri untuk terhanyut dalam alunan musik yang dipadu dengan suara Juan yang rasanya begitu memikat.

Pandanganku bertemu dengan Juan saat dia mengucapkan lirik yang membuat jantungku kembali berdetak kencang. Juan mengucapkannya dengan senyumannya yang begitu indah, menambah kesempurnaan dirinya di mataku.

"Kau bukan cinta pertamaku, namun, aku berharap, mulai hari ini, saat ini, engkau cintanya aku ...."

___TBC___

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

___TBC___

Hai-hai, makasih udah mampir! ^^

Luka yang Tak Terucap √Where stories live. Discover now