Tiga Belas; Aku yang Salah, Ya?

27 6 5
                                    

Di hari libur ini, matahari pagi yang cerah bermain-main di balik tirai jendela, mencoba membangunkan dunia dengan cahayanya yang hangat. Tapi, itu bukan untukku. Aku terjaga, duduk di tepi jendela kamar, memandangi langit biru yang tak secerah hatiku.

Di genggamanku, ada foto-foto di taman yang sudah dicetak. Mereka adalah kenangan, kenangan indah yang pernah aku bagikan dengan Juan. Setiap foto adalah cerita, cerita tentang kami, tentang tawa kami, tentang momen-momen yang sempat kami bagi. Tapi sekarang, mereka hanya bayangan, bayangan dari masa lalu yang tak bisa kembali.

Air mataku mulai jatuh, membasahi pipiku yang pucat. Aku mengusapnya perlahan, mencoba menenangkan hatiku yang berkecamuk. Tapi semakin aku melihat foto-foto itu, rasanya hatiku semakin sakit.

Juan, orang yang selalu ada di sampingku, yang selalu membuatku tertawa, yang selalu ada untukku. Ternyata hanya menganggapku sebagai teman. Dia tidak pernah melihatku lebih dari itu.

Dan itu ... itu yang membuatku terluka. Aku merasa, seperti ada bagian dari hatiku yang hilang, bagian yang tidak bisa aku temukan. Aku, benci situasi ini.

Sampai sekarang, aku masih bertanya pada diriku sendiri. Apakah aku yang salah?

Apakah aku yang terlalu berharap?

Apakah aku yang terlalu mencintai?

Tapi, tidak ada jawaban. Hanya ada keheningan, dan suara tangisanku yang terpendam di kamar ini.

Aku menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan pahit ini. Aku mencoba tersenyum, mencoba melupakan rasa sakit ini.

Tapi rasanya, semakin aku mencoba, semakin aku merasa terluka. Aku masih belum rela, aku masih mengira ini hanya mimpiku saja.

Juan ... mengapa kamu tega sekali?

Ting!

Aku kembali mengusap air mataku sebelum mengambil ponsel yang semalaman tak aku sentuh. Aku beranjak ke kasur, merebahkan diri untuk menghalau rasa pening. Sepertinya, aku terlalu lama menangis. Rasanya sedih sekali melihat diri sendiri seperti ini.

Juandra Pradipta
| Hai, Lin. |

"Juan?"

Perasaanku bercampur antara sedih, kesal, dan sakit hati. Juan benar-benar seperti biasanya, seperti tidak ada apa-apa. Atau ... aku yang salah? Aku yang salah menangkap sikapnya selama ini?

Adzeline Valerie
| Iya, Juan?|

Juandra Pradipta
| Kemarin kenapa pulang duluan? Mana nggak fotbar samaku. Kita menang lho, Lin. |

Aku semakin yakin, selama ini aku hanya dianggap teman oleh Juan, tidak lebih. Aku, bodoh ya?

Adzeline Valerie
| Aku kurang enak badan, jadi pulang duluan, Juan. |

Juandra Pradipta
| Oh, ya ampun! |
| Cepat sembuh, Lin. |
| Udah minum obat? |

Adzeline Valerie
| Makasih, Juan. |
| Udah kok. |

Aku langsung mematikan ponselku setelah membalas itu. Aku masih perlu waktu untuk mencerna semua ini. Ingin sekali rasanya mengulang waktu pertamakali aku dan Juan dekat. Aku, tidak mau mengenalnya lebih dalam lagi seperti kemarin.

Aku, sedikit menyesal.

"Lin?"

Suara mama. Aku langsung mengusap air mataku yang kembali keluar, lalu beranjak membuka pintu. Di sana mamaku sedang tersenyum, lalu merangkulku untuk duduk di kasur.

"Kenapa, Ma?" tanyaku.

"Lin, maaf ya. Selama ini, mama sama ayah ngerepotin kamu terus. Kamu pindah-pindah sekolah terus. Kamu jadi nggak punya temen yang awet. Pelajaran kadang keteter juga. Sayangnya mama mau, kan, maafin mama sama ayah?"

Mamaku mengusap kepalaku dengan lembut. Aku tersenyum, rasanya tenang sekali ketika hati sedang sedih diperlakukan seperti ini, apalagi oleh mama. Ingin rasanya aku mengadu yang sedang kurasa, namun aku malu.

"Iya, Ma. Lin gak papa kok. Ini mama kenapa, Ma? Kok tiba-tiba minta maaf?"

Mamaku menghela napas beratnya sebelum berbicara. "Mama sama ayah janji, ini yang terakhir kali."

"Maksudnya?"

"Kita ada tugas di luar kota, Lin. Kita harus pindah lagi."

Ini kalimat yang paling aku benci sebenarnya. Namun untuk sekarang, aku merasa senang. Aku memang ingin kehidupan baru lagi, ingin menjauh dari Juan.

Tapi, aku masih ragu, bagaimana dengan Raisya?

Semoga gadis itu tidak apa-apa, sejujurnya aku juga tidak rela berpisah dengannya. Namun rasa ingin menjauh dari Juan lebih besar daripada itu.

"Lin, kamu mau?"

Aku tersenyum, lalu memeluk mamaku. "Iya, Ma. Lin mau."

__TBC__

Hai-hai! Ketemu lagi!

Sebenarnya siapa ya, yang salah? ʕ⁠´⁠•⁠ ⁠ᴥ⁠•̥⁠'⁠ʔ

Luka yang Tak Terucap √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang