Empat Belas; Luka yang Tak Terucap

36 6 18
                                    

Aku tidak tahu mengapa hari-hari menjadi begitu cepat saat aku merasakan kesedihan yang mendalam, aku seloah tenggelam di lautan yang dalam, berdiam diri namun hari terus berganti tanpa aku sadari.

Hari ini Raisya dan Zaki ke rumahku setelah mereka pulang sekolah, sambil membawakan gelang hitam untuk kenang-kenangan bersama. Pamitanku di sekolah pagi tadi sepertinya belum cukup, Raisya masih berkaca-kaca melihatku yang sudah siap untuk pergi.

"Lin, jangan lupain gue, ya? Pokoknya kalo ada apa-apa juga, lo harus tetap cerita ke gue!" Raisya memegang kedua bahuku, gadis itu masih berkaca-kaca ketika mengatakan itu.

Aku mengangguk mengulas senyuman, memegang kedua tangan Raisya untuk aku genggam. "Pasti, Rai. Makasih ya, buat semuanya?" Mataku beralih menatap Zaki. "Ki, makasih juga, ya? Aku bersyukur bisa kenal sama kalian."

"Kita juga, Lin," jawab Zaki sambil mengelus pelan bahu Raisya, menenangkannya.

"Nanti kalian jangan lupa main! Oh iya, aku juga nunggu surat undangan dari kalian, ya!" Aku tertawa melihat wajah mereka memerah, rasanya senang sekali bisa tertawa seperti ini lagi.

"Gue juga nunggu kabar baik dari lo!" balas Raisya.

Aku masih tertawa seraya berjalan mengajak mereka mendekati mobil yang sudah siap di depan. Orang tuaku sudah lebih dulu pergi, aku sengaja menunggu Raisya dan Zaki dulu untuk ke sini.

"Aku, berangkat ya?" kataku setelah sampai di hadapan pintu mobil.

Raisya kembali memeluk singkat padaku. "Hati-hati, ya? Jangan mikirin dia terus! Kalo aja lo izinin gue buat marahin dia, udah gue marahin tuh, Lin!"

Zaki mengangguk seraya terkekeh. "Lo berhak bahagia, Lin. Jangan mikirin orang yang gak pernah mikirin perasaan lo."

Aku mengangguk dengan senyuman yang sejak tadi belum luntur, jempolku diacungkan pada mereka agar lebih meyakinkan. Mereka tertawa melihatnya, lalu membantuku memasukkan barang-barang yang belum sempat terbawa.

Mataku masih fokus menatap mereka berdua saat mobil sudah berjalan, kepalaku juga ikut menoleh saat tikungan akan menghilangkan mereka dari pandangan. Rasanya berat, namun lega.

Aku, butuh kehidupan baru.

Aku sudah tidak bisa menangis akhir-akhir ini, namun entah mengapa air mataku tiba-tiba saja jatuh saat melihat jajaran banguna rumah, toko, dan sebagainya yang biasanya aku lewati dengan Juan kala itu.

Juan, aku pergi.

Dan mungkin, tidak akan pernah kembali di hadapanmu.

Membawa luka darimu, yang tak pernah aku ucapkan padamu.

Air mataku semakin turun deras saat menghidupkan ponsel, ada notif dari Juan di sana. Padahal belum sempat terbaca, namun entah mengapa aku menjadi cengeng kembali.

Awalnya aku tidak akan membukanya, namun rasa penasaranku akhirnya menang. Aku menghela napas terlebih dahulu, menyiapkan perasaanku untuk membaca pesan itu.

Juandra Pradipta
| Lin, hati-hati. |
| Aku seneng banget kenal sama kamu. |
| Semoga kita bisa ketemu lagi, ya. |
| See u on top, Adzeline! |

Juan ....

Kamu, tidak ingin minta maaf?

Oh, aku lupa. Aku yang salah ....

Aku kembali menangis, air mataku turun deras membasahi layar ponsel, dengan cepat tanganku membersihkan ponsel dengan sapu tangan yang dibawa, mengusap-ngusapnya sambil berusaha meredam kesedihan ini.

"Juan, aku benci kamu," ucapku sambil melihat lagi pemandangan jalan.

Aku mengusap air mataku yang masih berjatuhan, rasa sakitnya kembali, kenangan-kenangan berputar bersamaan dengan Juan dan Dinda yang kulihat bermesraan di depan mata kepala.

Luka yang Tak Terucap √Where stories live. Discover now