CHAPTER SIX : DRAWING THE LINE

1.2K 83 5
                                    

Author : @Aoirin_Sora



Summary:

Aku benci saat ia tersenyum atau saat ia menatapku begitu dalam. Rasanya sangat tidak adil jika ia menyiksaku secara perlahan-lahan seperti itu. Sebab aku tahu, aku tidak bisa memilikinya. Pria itu hanya akan menjadi mimpi tak terbalaskan dari keinginan sintingku. Aku tidak ingin ia pergi, karena punggungnya yang menjaduh dariku bukanlah hal yang kunantikan. Tapi aku juga tidak ingin ia tetap di sampingku, karena tidak mungkin kendaliku yang begitu lemah bisa bertahan dari pesonanya. Semuanya membuatku tak bisa bernapas. Baik sikapnya yang selalu memojokkanku atau daya tariknya yang mendorongku untuk berdiri di ujung jurang kehancuran.

Pria itu murni seperti malaikat. Tapi ia kejam bagai iblis.

 ***


CHAPTER SIX: DRAWING THE LINE

Aku membuka mata dengan detakan jantung tak beraturan. Alarmku belum berdering, itu artinya aku bangun terlalu cepat. Well, malah sebenarnya aku tidak benar-benar tertidur berapa jam belakangan. Otakku kelewat bersemangat untuk menanti pagi hari, sembari memutar ulang setiap detik ingatan saat pria itu berada di kamarku. Samar-samar bau parfumnya masih mengisi udara, membiusku dalam lonjakan hasrat aneh yang tak bisa kukendalikan. Lee Donghae merusak pertahananku. Ia menjadikannya tak berarti, meski untungnya aku berhasil—setelah berjuang begitu keras—mempertahankan pekerjaanku.

Dalam gerakan tak beraturan, aku berhasil bersiap dengan pikiran melayang kacau. Chad menjemputku pukul delapan tepat. Ia bahkan menaikkan alisnya saat melihatku berjalan masuk ke mobil dengan langkah linglung.

"Hai." Sapaku lemah.

"Kau baik?" aku mendengar suara Chad sedikit ragu.

Sebagai jawaban, aku bergumam tak jelas. Meski wajahku terlihat kosong, jantungku malah berdetak terlampau keras. Aku benar-benar berharap Chad mengebut, agar kami bisa tiba dalam waktu sekejap dan agar aku bisa segera melihatnya.

Tetapi kenyataannya, kami tiba hampir empat puluh menit kemudian. Saat aku nyaris mengutuk keramaian di Wilshire. Deretan antrean panjang mobil-mobil yang menjamur di sepanjang jalan membuatku terus menerus berdecak gelisah. Jadi saat Chad berhenti di parkiran, aku langsung melesat keluar, meninggalkannya kebingungan.

Kakiku merangsek maju menembus lautan manusia yang memadati lobi dengan kecepatan penuh. Aku tidak mencemaskan keterlambatanku, tapi rasa aneh di dadaku lah yang membuat tungkai kakiku berjalan tergesa-gesa. Aku ingin tiba secepat mungkin, dan memastikan bahwa pria itu memang sudahpulang.

Di dalam hall PHOENIX, aku menyenggol Trace—staff Divisi II bagian Keamanan—dan ia melayangkan pandangan terkejut padaku. Sebagai permintaan maaf, aku hanya meringgis sambil tidak mengurangi kecepatan berjalanku—yang sekarang bisa didefinisikan sebagai berlari.

Pintu lift berdenting terbuka dan aku tidak meletakkan tasku seperti biasanya. Jari-jari tanganku terulur menuju pegangan pintu mahoni berukir indah yang tertutup rapat. Jantungku ingin meledak karena kekurangan suplai oksigen, tapi rasanya bakal berubah jadi debu saat kedua mataku menemukan sosoknya yang tengah duduk di balik meja. Pria itu mendongak menatapku perlahan. Sepasang mata indahnya mengamatiku yang separuh sinting—berdiri dengan napas terengah, mata tak fokus dan mulut menganga.

Lee Donghae memandangku dari atas hingga bawah lalu menaikkan alisnya tinggi. Aku balas mengerjap dan ia mendesah. "Laporanku, Miss Cardia." Ujarnya geli.

SCARLETWhere stories live. Discover now