CHAPTER NINE : EXODUS

1.1K 72 8
                                    

Author : @Aoirin_Sora

Summary:

Semuanya terasa aneh. Aku tak mengerti mengapa semuanya seakan berusaha melenyapkankubegitu saja. Apakah aku benar-benar hanya sebuah eksistensi yang tak memiliki hak apapun di dunia ini? Termasuk mencintai seseorang? Pikiran sinting ini terus berkeliaran. Tersesat, bingung dan ketakutan. Apalagi yang akan menantiku? Siapa lagi yang akan mencoba menginterupsi hidupku? Aku tak bisa bernapas, bahkan untuk mengerjapkan mata pun aku tidak berani. Meskipun kenyataan malah membentang bagai kilatan sinar mentari; menusuk tajam dengan cahaya berkilau terang. Aku tak akan pernah siap untuk apapun yang ada di hadapanku.

Termasuk dirinya.

***

CHAPTER NINE: EXODUS



Lagi-lagi aku memimpikan hal itu. Tapi meski aku tahu ini hanya mimpi, aku tetap tidak bisa berhenti ketakutan.

Lee Donghae dan Johan, keduanya tergeletak di tengah jalan. Nyala kedua mata mereka telah padam. Hampa. Kosong. Tubuh mereka terbujur kaku. Dengan wajah bersimbah darah dan sepucuk senjata terletak di antara mereka. Tetapi kelihatannya Johan berjuang untuk bergerak. Ia menggeser kepalanya ke arahku, yang terpaku—sama sekali tak mampu mendekat—dan ia mengulurkan tangannya padaku.

'Aku mencintaimu, Youva..'

Aku menjerit. Tenggorokanku rasanya nyeri karena teriakanku yang begitu keras. Kurasakan seseorang mengguncang tubuhku dan kedua mataku membuka dengan panik.

"Ada apa? Kau kenapa?"

Aku menatap Donghae yang terlihat cemas. Napasku memburu dan separuh kesadaranku masih menggigil mengingat mimpi itu.

Kugelengkan kepala dan Donghae membantuku untuk duduk. Kusadari tubuhku penuh peluh. Keringat menetes dari dahiku tanpa henti hingga rambut menempel tak nyaman ke leher dan wajahku.

"Cuma mimpi." Tegasku padanya.

Ia mengernyit dan menarik napas dalam. "Ini sudah ketiga kalinya kau berteriak seperti itu, Youva. Itu mimpi yang sama?"

Donghae menyodorkan segelas air mineral padaku dan segera kuhabiskan dalam sekejap. Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya mengangguk sambil memandangi selimut yang kugenggam erat.

"Apa yang kau cemaskan?" desah Donghae lalu mengerjap bingung. Ia nyaris terdengar khawatir seandainya alisnya tidak bertautan. "Mimpi buruk biasanya manifestasi dari rasa cemas. Kau tidak akan bisa berhenti mendapatkan mimpi seperti itu jika kau tidak berusaha mengendalikan kecemasanmu, Youva."

Kupandangi wajah Donghae perlahan-lahan, mencoba menjelaskan padanya kalau aku memimpikannya. Tapi egoku lebih berkuasa hingga bibirku masih tertutup rapat tanpa berhasil mengucapkan apapun.

Menyadari keenggananku bercerita, Donghae kembali menghela napas. Ia melirik jam tangan Bvlgari-nya dan berkata dengan suara lelah. "Ini masih pukul empat pagi. Kembalilah tidur, Miss Cardia. Usahakan kau tidak menjerit lagi. Atau.." perkataan Donghae sempat menggantung sejenak, namun Donghae terlihat agak ragu saat menyelesaikannya. "Kau butuh pil tidur?"

Aku menggeleng. Donghae mengangguk kecil dan segera berlalu, meninggalkanku yang terlihat kusut, berantakan, dan wajah penuh keringat di atas tempat tidurnya.

Benar, ia sama sekali tak mengijinkanku untuk meninggalkan kamarnya sejak kemarin malam, saat ia memelukku dan berjanji bahwa semuanya akan baik-baik saja. Menurutku bagian terbaiknya adalah saat tubuhnya mendekapku dengan hangat. Tapi sialnya itu juga bagian terburuk, karena setelahnya aku terus menerus memimpikannya tanpa henti. Dan tak pernah di dalam mimpiku aku melihatnya hidup. Itu yang membuatku takut. Apakah ia bakal terbunuh? Dengan Johan sebagai lawannya, hanya ada dua kemungkinan besar; membunuh atau dibunuh. Yang manapun bukanlah solusi terbaik untukku.

SCARLETDonde viven las historias. Descúbrelo ahora