Episode 2

144 30 0
                                    

"Sudah diputuskan ya!"

Watson, Jeremy, dan Hellen mengangguk. Mereka akan berwisata ke Moufrobi Zoo. Aiden yang akan membeli tiket masuk. Toh, gadis itu yang mengusulkan liburan. Watson hanya perlu membawa badan, hehe.

"Syukurlah. Kita bisa bersenang-senang kali ini. Semoga tidak ada kasus selama tiga hari libur," ucap Jeremy ceria, tak sadar bahwa kalimatnya mengandung flag (penanda).

"H-hei, jangan mengatakan hal yang bisa memicu kejadian buruk."

Embusan angin dingin entah dari mana asalnya menjamah kuduk Watson. Dia menoleh ke jendela yang terbentang lebar. Mendadak firasatnya jelek. Perasaan resah apa ini? Instingnya mengirim sinyal bahaya.

"Oke! Kalau begitu aku akan memesan tiketnya dulu!" Tangan Aiden meraih kenop, membuka pintu. "Ng?" Di luar ruangan, berdiri Dextra yang hendak mengetuk pintu. Anehnya dia bersama seorang anak cewek.

"Lho, Dex? Siapa dia?"

"Itu juga yang mau kutanyakan, Kak Aiden. Dia sudah berdiri di sini dari tadi."

Bentar. Aiden mengerjap. Dahinya berkerut. Rambut anak itu berwarna abu-abu, pakai kacamata tak berlensa, bola matanya juga warna kelabu. Mirip dengan seseorang.

Menggelengkan kepala, Aiden tersenyum, jongkok menyejajarkan tinggi anak itu. "Apa kamu mau mengajukan permohonan kasus, Dik? Maaf, ya, kami libur selama tiga hari—"

"Papa!" serunya riang.

Hah? Watson, Aiden, dan Hellen termasuk Dextra saling tatap bingung. Siapa yang dia panggil 'Papa'? Anak ini pasti tersesat, salah masuk ruangan. Apa dia putri salah satu guru di Madoka? Mereka harus mengantar bocah itu ke orangtuanya sebelum terjadi kehebohan yang tidak perlu.

Menyengir, dia menyelonong masuk, ngacir ke tempat Jeremy berdiri. "Papa! Aku rindu Papa!" katanya, memeluk kaki Jeremy.

Jeremy menelengkan kepala. "Heh?"

"HEEE?!!!" Aiden dan Hellen berseru.

"A-Adik kecil, sepertinya kamu salah orang. Kamu anak guru yang mana? Biar kakak antar kamu ke sana," gumam Jeremy kagok.

"Apa yang Papa katakan? Aku ke sini untuk Papa!" sahut anak itu tersenyum cerah.

"Makanya jangan panggil aku dengan panggilan yang membuat orang salah paham seperti itu." Jeremy menunjuk dirinya yang berkeringat. "A-aku ini masih remaja. Tak mungkin aku menjadi ayahmu. Katakan saja siapa orangtuamu. Kakak bakal antar kok."

Aiden mengelus dagu. "Tapi-tapi kalau diperhatikan, anak itu sama persis dengan Jeremy. Pantas saja aku langsung teringat Jeremy ketika melihat penampilannya. Buah tak jatuh jauh dari pohonnya itu benar!"

"Jangan memperburuk suasana dong!"

"Papa, apa Papa lupa denganku karena kita sudah lama tidak bertemu? Ini aku lho, anak Papa. Putri pertama Papa yang cantik."

"Jangan ngawur! Bagaimana bisa aku punya anak di umur yang begitu muda! Tidak masuk akal. Kamu pasti disuruh seseorang untuk menjatuhkan martabatku!"

Ada apa sih ini sebenarnya? Watson menatap malas pemandangan eksentrik di depannya—Jeremy panik, melangkah mundur dari bocah yang mengaku-ngaku putrinya. Dasar! Itulah kenapa jangan mengatakan kalimat flag yang bisa memicu sesuatu. Langsung kejadian kan.

"Ke kelas deh." Berlama-lama di klub yang bising membuat pikiran Watson kacau.

Seseorang menarik lengan seragamnya.

"Apa maumu, Hellen Stern?"

Watson berhenti melangkah. Tiba-tiba saja atmosfer di antara mereka berdua menjadi mencekam dan serius.

"Seharusnya itu kata-kataku, Watson Dan. Mau pergi ke mana kamu? Bisa-bisanya kamu ingin pergi menyelamatkan diri sendiri. Aku takkan membiarkanmu lolos."

"Stern, aku yakin kamu tahu aku benci kasus berbau drama. Mungkin saja anak itu benar putrinya Bari. Aku enggan terlibat."

Hellen tersenyum manis. "Kita teman, kan? Kita sahabat, kan? Sesama teman harus saling berbagi penderitaan."

"Jangan menggunakan ikatan pertemanan untuk alasan tidak masuk akal seperti itu!"

"JANGAN BERCANDA, WAT!" sembur Jeremy, mendengar obrolan Watson dan Hellen. "Anak ini telah mengarang cerita! H-Hellen, kamu percaya padaku, kan?"

"Tutup mulutmu, pria mesum. Tidak ada yang mengajakmu berbicara."

Jeremy pengen log out dari kehidupan.

***

Singkat cerita, Aiden membiarkan gadis kecil yang mengaku putrinya Jeremy itu tinggal di ruang klub selagi mereka masuk kelas. Namanya Sadia Bari, 7 tahun. Meski kedatangan Sadia mendatangkan badai baru bagi anggota klub detektif, paling tidak dia anak yang penurut dan patuh.

Kabar Jeremy sih tidak baik karena didinginin oleh Hellen. Ditambah mereka berdua sedang dalam tahap pedekate. Kehadiran Sadia sama saja mengungkap rahasia Jeremy bahwa dia pernah melakukan 'hal itu'. Kalau tidak, mana mungkin Sadia terlahir ke muka bumi ini.

"TIDAK! Bukan begitu!" Jeremy memotong penjabaran di kepala Watson. "T-tolong, jangan memperburuk citraku lagi di depan Hellen. Aku benar-benar tidak tahu soal anak itu! Sadia pastilah pasien RSJ yang mengidap suatu gangguan. K-kamu kan genius. Kamu pasti tahu nama penyakitnya."

"Itu benar, Dan! Jeremy kan anak baik-baik. Aku percaya dia masih perjaka," bela Aiden.

Hellen menatap Watson yang menopang dagu malas, menguap ngantuk. Aneh. Apa eksistensi Sadia tidak mengganggu kepalanya? Biasanya kalau ada orang baru yang membawa masalah misterius begini, Detektif Pemuram itu pasti bersemangat.

"Kenapa kamu begitu santai?" tanyanya.

"Karena aku ingin bersantai. Berkali-kali kubilang, aku tidak mau terlibat. Anak itu tidak mengganggu kita, kan? Buat apa—"

"SANGAT MENGGANGGU, WAT!" sela Jeremy. Bagaimana nasib pedekate-nya dengan Hellen kalau ada anak mengaku putrinya? Itu berarti Jeremy sudah menghamili seseorang.

Jengkel didesak terus-menerus, apalagi telinganya pekak oleh rengekan Jeremy, Watson beranjak bangun dari kursi. Dia melangkah geram menuju pintu kelas, berniat keluar. "Kalau kamu sebegitu khawatirnya dengan anak itu, lakukanlah tes DNA... Oh?"

Sadia telah berdiri di depan kelas Watson. "H-halo, temannya Papa. Sadia bukannya melanggar perintah, Sadia ingin ke kamar mandi kecil. Di mana ya tempatnya?"

"Apa yang kamu lakukan di sini?!" Jeremy tolah-toleh, memastikan tidak ada penghuni kelas mereka yang melihat sosok Sadia.

Anak ini... Watson menatap datar Sadia yang cengar-cengir diomeli Jeremy.

Jeremy benar. Keberadaannya mengganggu. Rasa penasaran Watson bisa muncul ke permukaan kalau Sadia terus berada di sekitarnya. Itu tidak boleh sampai terjadi!

"Bari, kurasa sebaiknya kamu—"

"Barusan aku lamat-lamat dengar Papa mau melakukan tes DNA, kan? Kalau Papa tidak percaya aku anak Papa, ayo kita lakukan! Aku akan membuktikan kalau aku tidak bohong! Mari kita ke tes DNA di rumah sakit Atelier." Sadia memotong.

"Kamu dengar, kan? Anak ini mau mengikuti tesnya. Kamu harus percaya padaku kalau aku belum berhubungan badan, Hellen! Jadi berhenti menatapku seolah aku musuh."

Apa-apaan... Watson menatap Sadia yang tersenyum. Dari mana dia tahu Atelier?

Itu kan rumah sakit Ayah Hellen.

Petualangan WatsonWhere stories live. Discover now