Episode 7

129 30 4
                                    

"Baik, mari kita sudahi ramah-tamahnya. Nyonya Kimi kenal anak ini, kan?"

Seperti biasa, Aiden bertugas dalam berkomunikasi dan Watson menyimak.

Wanita itu menatap Sadia yang mengerjap polos, tersenyum teduh. "Tentu saja. Dia salah satu anak yang kubesarkan. Karena Sadia sudah tahu siapa ayahnya, dia pun pergi ke Amerika dengan mandiri."

"Dan anak ini berhalusinasi, tidak, maksudku mengira ayahnya adalah salah satu teman kami. Ini jatuhnya pelecehan nama baik. Teman kami itu masih remaja!"

"Apa mereka sudah melakukan tes dna?"

Aiden dan Hellen saling tatap. "B-benar."

"Kalau begitu kalian sudah mendapatkan jawabannya!" kata beliau menepuk tangan ceria. "Kamu pasti sangat senang bisa bersatu kembali dengan ayahmu, Sadia."

Sadia tersenyum lebar, memeluk kaki Kimi. "Terima kasih sudah merawatku selama ini, Nona Kimi. Aku takkan melupakanmu."

Selagi mereka berdua sedang berpelukan penuh haru, anggota klub detektif Madoka mendengus dongkol. Kenapa Kimi begitu percaya diri seolah-olah sudah tahu hasil tesnya adalah positif? Mencurigakan.

"Di mana anda mendapatkan Sadia?"

"Sadia ditinggalkan di depan panti 7 tahun lalu. Sepertinya karena orangtuanya masih muda dan tidak mau menanggung beban seorang anak, mereka menelantarkan—"

"Itu tidak mungkin!" sergah Jeremy kesal. Dia merasa tersindir secara tidak langsung. "Harus berapa kali kubilang, aku bukan ayah anak ini! Aku masih perjaka! Bahkan di umur 10 tahun, aku menderita tekanan dan stres maksimal! Mana mungkin anak semuda itu bisa mengeluarkan sperma?!"

"Itu benar! Kami tidak percaya pada hasilnya walau itu menunjukkan positif."

"Wahai, anak adalah sebuah berkah bagi seluruh orangtua di dunia ini. Kenapa kamu bisa setega itu tidak menganggap putrimu sendiri setelah membuangnya bertahun-tahun? Apa kamu tahu perasaan Sadia? Dia akhirnya bertemu ayahnya tetapi kamu malah menyangkal eksistensinya. Bertanggung jawablah atas tindakanmu."

Mereka tersentak melihat Jeremy menangis, termasuk Aiden dan Hellen.

"Aku benar-benar tidak tahu apa pun tentangnya... Berhenti menuduhku seolah aku orang jahat yang tidak peduli pada anak kecil... Aku tidak pernah tidur dengan wanita mana pun kecuali mama dan kakakku yang telah meninggalkanku.

"Aku juga dari panti asuhan asal kalian tahu. Tentu saja aku paham perasaan anak ini. Jika dia sungguhan anakku, aku takkan mau menelantarkannya. Tapi aku betulan tidak pernah menyetubuhi wanita! Aku..."

Jeremy tiba-tiba kesusahan bernapas.

Hellen melotot. "Gawat! PTSD-nya kambuh! Kita butuh obat sertraline dan paroxetine. Di mana ruang uks di sini??"

"Anak gedung sayap barat."

Aiden, Hellen, dan Dextra pun keluar dari sana sambil memapah Jeremy yang berkeringatan, meninggalkan Watson yang menghabiskan tehnya. Kan tidak sopan sudah dibuatkan teh tapi tidak dihabiskan.

"Bedakan ketulusan dan paksaan," gumam Watson beranjak bangkit. "Jika seseorang mengerjakan sebuah pekerjaan secara paksa, dia akan jatuh dalam kesulitan."

"Apa yang kamu bicarakan, Nak?"

"Hanya bergumam tak jelas. Karena aku tahu apa yang sedang terjadi di sini," tajam Watson melirik buku dongeng yang terselip di rak, mengulas senyuman smirk.

Sederet kalimat terakhir Watson sukses membuat Kimi dan Sadia tersentak. Watson tersenyum miring. Reaksi yang diharapkan~

Watson pun keluar dari sana, melirik tong sampah di dekat pintu. Sampah di dalam sana masih ada. Berarti tempat ini belum masuk ke radar petugas kebersihan.

"Tunggu! Kalau aku benar..."

Watson mengaduk-aduk tong sampah itu. Satu menit, dia mendapatkan apa yang dia cari-cari begitu sampai ke sini. Sebuah bekas tiket pesawat kedaluwarsa yang diremukkan. Dia menyeringai. Bingo!

"Sekarang tinggal satu kepingan lagi." Cowok itu beralih mengeluarkan ponsel, menghubungi Saho. Langsung terhubung.

"Hei, Shepherd, aku butuh bantuanmu. Bisakah kamu ke rumah sakit Atelier dan memeriksa apakah ada jejak kaki di dinding pada ruangan lab Dokter Elione?"

***

Besoknya, pukul delapan pagi.

Watson masuk ke uks panti, memandangi teman-temannya yang tertidur di dekat ranjang Jeremy. Watson sengaja begadang semalam memastikan tidak ada yang salah dari Jeremy. Mana tahu dia mendadak melakukan self injury atau sleep walking.

Ternyata PTSD dari kasus Jerena Bari masih belum sembuh total. Itu kambuh kalau Jeremy tertekan berlebihan, ya?

"Ah, Dan, kamu di sini." Aiden yang pertama bangun, menguap sambil mengucek mata. "Jam berapa kamu tidur semalam?"

"Aku tidak tidur. Sudahlah, lupakan itu. Aku ingin bicara empat mata denganmu."

Bicara hanya berduaan saja. Mata Aiden langsung melek. Apa... apa yang mau Watson katakan sampai orang lain tidak boleh mendengarnya?! Jangan-jangan seperti yang Aiden pikirkan?

Akhirnya ini datang dalam hidupnya!

Akhirnya Watson akan membalas perasaan Aiden yang bertepuk sebelah tangan selama dua tahun! Hiks! Aiden takkan pernah melupakan hari paling bahagia—

"Aku mendapatkan jawabannya. Sadia itu benar-benar bukan anaknya Bari."

Singkat, padat, jelas, dan misterius. Muka Aiden seketika berubah bentuk. Ternyata bukan pengakuan tapi masalah Sadia. Dasar si Watson itu! Maniak kasus dan misteri!

Aiden mengembuskan napas panjang. "Tidak biasanya kamu asal menyimpulkan seperti itu, Dan. Jangan tergesa-gesa."

"Tidak, Aiden. Aku tidak tergesa-gesa kok. Aku serius bilang sudah tahu."

"Baiklah, aku ingin mendengarnya."

Dan sebelum Watson mengungkapnya, sosok Dextra muncul menyela. Tuh, kan! Sudah Watson duga, pasti akan ada saja yang mengganggunya berdeduksi.

"Ada apa, Dextra? Mukamu pucat begitu."

"Itu... Ada yang viral di tektok..."

Watson bersedekap, menunggu lanjutan.

"Seseorang melompat dari atap sekolah!"

Demi mendengarnya, muka masam Watson berubah cerah. "Lalu dia mati? Mayatnya di mana? Masih di tkp? Ayo ke sana—"

Aiden menyikut lengan cowok itu, menyuruhnya untuk serius sedikit. Watson lama-lama mengidap nekrofilia nih.

Watson mengedikkan bahu, cengengesan.

"Coba lihat video ini."

Dextra memamerkan video yang dia temukan saat bangun beberapa menit lalu. Itu viral dan sudah ditayangkan 2 juta penonton. Sebuah video seorang pelajar perempuan tengah membuat konten di depan sekolahnya, memamerkan kecantikan kukunya yang baru dicat dan rambutnya yang dicatok, apalah itu lagi. Intinya dia membahas soal kecantikan dan keindahan.

Lalu tiba-tiba kameranya membidik seseorang naik ke rooftop sekolah, berdiri di luar pagar pembatas.

Dan begitu saja dia menjatuhkan dirinya. Darah memuncrat ke tanah dan dinding sekolah. Si pemilik konten terpekik, begitu pula para penontonnya. Ada yang mengira editan, ada juga yang menganggap itu betulan. Kubu pro-kontra pun terbentuk.

"Astaga, menyeramkan sekali! Bagaimana bisa dia melompat begitu saja?? Apa dia tidak takut atau apa kek gitu?" gumam Aiden, meremas lengan Watson.

"Sakit, Aiden. Kamu mencengkeram lenganku terlalu keras!" Watson malah menotis hal lain, sama sekali tidak terasa terganggu oleh video berdarah itu.

Dextra menatap Watson yang bersungut-sungut. "Kak Watson, apa menurutmu video ini asli atau palsu?"

"Entahlah. Tapi kita akan menemukan jawabannya kalau pergi ke tkp. Lagipula seragam yang digunakan gadis ini... tampak familiar. Aku pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi dimana, ya? Kemarin?"

Watson dan Aiden tersentak, saling tatap.

"Benar! Seragam cewek yang waktu itu!"

Petualangan WatsonWhere stories live. Discover now