Episode 3

124 30 0
                                    

"Tidak mungkin... Bagaimana bisa...?"

Dokter Elione memperbaiki posisi kacamata yang sedikit melorot. "Maaf, Nak Jeremy, tapi memang begini hasilnya. Saya sendiri yang terjun menguji darah kalian berdua di laboratorium." Tidak ada untungnya bagi Elione mengubah catatan tes paternitas apalagi pada teman putrinya.

Bruk! Jeremy terduduk ke lantai dingin, berbinar-binar tidak percaya. Hasil tes dna menunjukkan bahwa Sadia 98.99% adalah anaknya. Gadis kecil itu tidak berbohong.

"Ngeri, Jer, ternyata kamu bejat. Mukamu padahal polos begitu," hina Aiden. Alasan untuk membela Jeremy sudah tidak ada.

"Pa, sepertinya kita harus mencoret nama Jeremy Bari dari calon menantu. Aku akan berusaha mencari menantu yang baik untuk Papa." Hellen mengacungkan jempol pada ayahnya. Wajahnya senantiasa datar triplek. Sepertinya dia kerasukan si dingin Watson.

"HELLEN! AKU BISA JELASKAN! S-sungguh...! Aku bersumpah aku tidak pernah tidur dengan wanita lain sepanjang aku hidup selain Mama. Kumohon percayalah padaku!" rengek Jeremy ingin menangis.

Gadis itu memandang Jeremy dingin. Dia bersikeras menyanggah setelah hasilnya positif. Hellen bersedekap. "Apa kamu mau menelantarkan putrimu yang masih kecil tidak berdosa? Nafkahkan dan nikahi ibunya sana! Kamu harus belajar tanggung jawab!"

"Tolong dengarkan aku dulu!"

Sementara itu, Watson hanya diam menyaksikan keributan teman-temannya di bawah ekspresi jengah. "Aku mau pulang..."

Tapi, berita ini cukup mengejutkannya. Tidak disangka, Jeremy berani melakukan hal terlarang di luar nikah. Watson harus akui bahwa dia sedikit kaget dan kagum(?).

"Om tidak menduga tubuhmu amat subur," cetus Elione mengulum senyum. "Karena umur Sadia 7 tahun, berarti kamu sudah ejakulasi di umur 10 tahun. Selamat ya!"

"Jangan menambah runyam situasinya dong, Om!" Jeremy menoleh cepat ke arah Watson yang tersentak kaget.

Ah, gawat. Dia ke sini. Firasat buruk nih.

"Tuan detektif yang genius~!" Jeremy melompat-lompat mendekati Watson, tersenyum sok imut. "Aku dari dulu sudah memikirkan ini, etto, sebenarnya kamu jauh lebih ganteng daripada diriku—"

"Tidak. Aku tidak mau ikut campur," tolak Watson tegas bahkan sebelum Jeremy menyempurnakan kalimatnya.

Apalagi tujuannya kalau bukan minta tolong dengan metode meluluhkan hati Watson: puji penampilan, buat dia terbang tinggi, lalu dia akan senang dan setuju membantu. Cuih! Dipikir Watson cowok gampangan apa. Jangan harap Watson bisa disuap kali ini. Dia harus bersikap super tegas demi mewujudkan selaksa liburan sejati.

"Aku mohon!" Jeremy menggoyangkan tubuh Watson. Hidungnya berceceran ingus, memercik. "Hanya kamu satu-satunya penyelamatku! Mau ya? Kita kan sahabat!"

"Jangan menyalahgunakan ikatan persahabatan kita untuk membabuku."

Jeremy memeluk kaki Watson. "Ayolah, Watson, tolong bantu aku meluruskan kesalahpahaman ini. Aku tidak mau didepak dari list calon menantu Om Elione. Aku akan memberikan semua yang kamu inginkan. Jadi tolong aku, Watson! Kumohon huaaa!!!"

Watson mendelik. "Menjauh dariku, Bari. Ingusmu mengenai celanaku. Enyah kataku."

"Tidak sebelum kamu menolongku!"

"Aku bilang aku tidak mau."

Memakai segenap tenaga yang kecil, Watson mendorong Jeremy ke samping. Pelukan ingus kurang ajar itu akhirnya terlepas membuat Watson langsung bangun, menyandeng tas sekolahnya. "Ini peringatan terakhir. Jangan libatkan aku ke urusan drama keluargamu. Stern, Aiden, aku pulang duluan. Sampai jumpa besok."

Aiden melambaikan tangan. "Sampai besok!"

Pantang menyerah, Jeremy kembali berdiri. "Aku akan memberimu lima milyar dolar!"

Watson tersenyum miring. "Mau nyogok aku nih ceritanya? Lucu sekali, Bari. Kamu kira aku tipe pria yang mudah tergiur oleh uang? Meski tidak sekaya kalian, aku sudah hidup berkecukupan. Bye."

Watson keluar dari sana.

Jeremy berhenti nego, menoleh ke Hellen yang berbisik pelan. Dia menyeringai. "Lupakan soal uang. Aku akan memberimu mapo tofu setiap hari selamanya!"

Watson batal keluar dari lab Elione. Mapo tofu adalah makanan favoritnya sejak kecil.

"Fufufu! Bagaimana wahai temanku, Watson Dan! Apa kamu mau menolak mapo tofu gratis setiap hari tanpa jangka waktu? Tidak, kan?" Jeremy terkikik puas. Berhasil. Dia telah memegang kelemahan Watson. Dapat contekan dari Hellen bangga.

Watson melangkah kencang ke tempat Jeremy berdiri, berbisik serius, "Kamu harus menyajikannya tiap aku minta. Deal?"

"Deal." Jeremy mengulurkan tangan.

"Senang berbisnis." Watson menerima jabatan tangan Jeremy. "Akan kubantu."

Yes! Jeremy melompat senang.

Haaah... Ujung-ujungnya begini juga. Watson menghela napas, menatap Sadia. Dia baru sadar jika Sadia tidak koar-koar seperti gembira atau bahagia kalau hasil dna mereka berdua cocok. Anak itu malah berdiri tenang, menonton Jeremy yang berusaha meminta bantuan Watson.

Bukankah di klub tadi Sadia ngotot bilang dirinya putri Jeremy? Kok mendadak kalem. Memang ada yang aneh dari gadis kecil ini.

Sadia menatap Watson. Sial. Dia kepergok.

"Mohon bantuannya, Kak!" Sadia tersenyum.

Cowok itu diam saja, malas menggubris.

"Kalau begitu liburan ke kebun binatang terpaksa dibatalkan, ya. Kita bisa mulai investigasi besok di sekolah seperti biasa."

Watson mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi cowok itu menelan air ludah sendiri. Apanya 'kali ini takkan tergiur segala macam sogokan'? Dia bahkan kalah dari makanan.

"Aku mau liburan ..." lirihnya tak berdaya.

"Maafkan aku," bisik seseorang pelan.

"Hm?" Watson menatap punggung Sadia yang menyejajarkan langkahnya dengan Jeremy. Apa barusan dia yang berbisik... Ah, mungkin dia salah dengar karena bete.

"Papa! Sadia lapar. Ayo kita makan!"

"Jangan panggil aku begitu!"

Hellen menepuk bahu Watson, tersenyum. "Terima kasih sudah berubah pikiran."

"Kamu kan yang mengumbar rahasia aku suka mapo tofu? Tsundere! Berlagak kasar tapi sebenarnya tengah gelisah di dalam."

"Pria tak peka tidak layak menceramahiku."

Watson baru saja ingin menyenyekan perkataan Hellen, namun dia tak sengaja melihat lampu ruangan di sebelah lab Elione mati menyala sebanyak dua kali.

"....?" Dia menoleh ke lampu di lorong rumah sakit. Entah apa yang dia pikirkan, Watson tiba-tiba menepuk tangan. Alhasil, lampu tersebut menyala untuk beberapa saat.

"Apa yang kamu lakukan, Dan?" 

"Sepertinya alat penerang di rumah sakit ini memiliki teknologi sensor suara. Lampunya hidup ketika mendengar suara yang frekuensinya cukup keras."

"Memangnya kenapa dengan itu?"

Watson menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya berpikir, sepertinya ini akan menarik."

Aiden manyun. Tuh, kan, mulai lagi.


Petualangan WatsonWhere stories live. Discover now