23| The Whalien 52

288 27 1
                                    

Kaila mengerahkan pandangan ketika mendengar namanya dipanggil

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

Kaila mengerahkan pandangan ketika mendengar namanya dipanggil. Di tengah lapangan basket, Jake melambaikan tangan seraya tersenyum. Rambutnya tampak basah begitu juga dengan seragam putih yang sudah berganti kaos hitam polos.

Dari tempatnya Kaila hanya menggeleng heran. Siapa yang akan kepikiran untuk bermain basket di tengah siang bolong?

Lalu. Kaila pikir, laki-laki itu akan menghampirinya. Ternyata tidak. Jake tampak asik men-drible bola kemudian menembaknya ke dalam ring. "Kamu gak kepanasan?" teriak Kaila.

Laki-laki itu tersenyum simpul. "Tenang aja. Aku gak bakal item kok." katanya. "Mau ke perpustakaan, ya?"

Tidak memberi balasan. Kaila hanya mengangguk.

"Yaudah, take your time, ya." ucap Jake dari jauh. Dengan sebelah tangan yang melambai hangat.

Tanpa sadar. Dari tempat Kaila berdiri, ia menghela napas berat. Sedikit kecewa akan ekspetasi sendiri. Dan sebelum berlalu dari sana, ia sempatkan untuk melemparkan senyuman.

Kaki jenjang itu kembali menarik langkahnya untuk menjauh dari sana. Menapaki anak tangga satu demi satu. Kalau boleh ia bercerita. Entah kenapa rasanya ada yang berbeda dengan Jake. Mereka bahkan tidak berangkat bersama. Saat Kaila menghubungi lelaki itu, ia beralasan baru bangun. Alias kesiangan.

Mungkinkah itu hanya sekedar alasan?

Mungkinkah ia tersinggung akan sikap Ibu tempo hari?

Terlalu banyak pertanyaan yang berterbangan di dalam kepalanya. Buru-buru Kaila enyahkan. Dan tepat saat itu, Kaila nyaris jatuh ke belakang kala menabrak seseorang yang berlawanan arah dengannya.

Untung saja ia sigap memegang pembatas tangan. Atau karena sebuah tangan juga turut menahan punggungnya.

Iris mata hazel itu bergerak. Menatap penyebab ia nyaris terjatuh. Lagi. Gadis itu tampak menghela napas dalam. Memposisikan tubuh agar tegak sempurna. "Punya mata gak sih, lo?" decak Kaila.

Sudut bibir Agam tertarik. Netra hitam legam itu turut memanah matanya dalam. "Punya lah. Ini yang lagi lo tatap apaan?" katanya. "Jelas-jelas ini jalur buat turun ke bawah." lanjut Agam sambil menggeleng heran.

Saat Kaila menelisik sekitar, barulah ia menyadari kesalahannya. Untung saja hanya ada mereka berdua di tangga ini. Tanpa perlu repot-repot meminta maaf, ia kembali melangkahkan kakinya ke atas.

"Dih. Lecek amat tu muka. Kayak baju baru diangkat dari jemuran bae." gumamnya sebelum langkah kaki itu membawanya untuk mengikuti Kaila.

Ada hal penting yang ingin ia sampaikan.

Ingatan Agam berkelana pada ucapan Rizal dan Ilham tempo hari. Hari di mana ia turut diajak bergabung untuk makan bersama oleh Kaila.

"Gue kalo jadi lo bakal ngerasa malu sih. Tu bocah masih ingat lo di momen kayak gini. Padahal lo aja gak pernah tergerak untuk minta maaf tentang kejadian yang udah berdebu itu." ujar Rizal dengan stik PS yang berada di tangan.

The Apple of My EyeKde žijí příběhy. Začni objevovat