Tiga

51 11 2
                                    

Si lelaki... Oke, aku gak tahu namanya siapa, namun yang pasti dia seorang teknisi di line 5, line-nya mbak Laili. Entah sejak kapan, mataku kerap mengikuti kemana orang itu pergi. Bersyukur aku mengenakan masker dan hijab yang kupakai juga pasti menyamarkan mataku yang reflek melihat orang itu. Kemana pun, selama masih dalam jangkauanku.

Seperti sekarang, sesekali mataku berlari mengikuti langkahnua yang berjarak empat line dari tempatku berdiri.

"Mas Joko loh padahal anaknya sudah dua, tapi kayak masih perjaka."

Lalu, mataku beralih pada sosok yang disebut-sebut oleh patnerku. Kepalaku mengangguk disela mata kembali fokus pada potongan kain di depanku, mencari celah kesalahan sebelum aku jadikan di satu tumpukan bagian mana yang perlu dibenarkan.

"Temanku SMA itu," timpal mbak Dwi, helper yang menggabungkan bagian depan dan belakang celana. "Anaknya dua itu, Tul," sambungnya memberitahu.

"Eh? Masa, mbak? Tak kira baru satu." Atul, partner kerjaku jelas sekali terkejut atas pernyataan yang baru diketahui itu. "Masih muda banget gitu soalnya."

Mbak Dwi mengangguk. Meski kami sambil bercerita, tentu saja mata dan tangan kami tetap bekerja. "Katanya nikah muda."

Aku dan mbak Atul kompak mengangguk pelan kembali mengetahui hal baru yang sebenarnya tidak terlalu penting itu. Tapi ya, demi mengusir kantuk di mataku, padahal masih pukul sepuluh pagi, aku turut mendengarkan kisah seru mekanik tampan di gedung ini.

"Anaknya seumuran mbak Asih, satu sekolah juga. Sedangkan anakku yang nomor satu baru kelas satu SD."

Dan aku kali ini benar-benar terkejut. Sebegitu jauh selisihnya?

"Umurmu berapa mbak? Masa anaknya mas Joko sudah kelas satu SMP," tanyaku pada akhirnya yang terperangah terkejut.

"Tiga satu. Aku nikah umur dua tiga."

"Lah mas Joko?" Gantian mbak Atul yang sepertinya sama terkejutnya denganku.

"Lulus SMA kayaknya. Ini aja sebenarnya aku lupa eh tepatnya tidak ngeuh kalau dia temanku. Pas aku ambil minum tadi tiba-tiba dia datang nyamperin terus cerita lah. Ternyata dia juga pernah main ke rumahku dulu."

"Tapi mbak Dwi bisa lupa gitu, ya?" tanyaku heran. Masalahnya, aku bahkan mengingat semua temanku yang pernah menginjakkan kaki di rumahku.

Oh, apa karena mereka terlalu lama tidak bertemu? Bisa jadi.

"Ya gak inget aku, Zi. Tadi aja dibilang sombong aku karena beberapa kali disapa tapi aku diam."

Jawaban mbak Dwi tadi kontan mengundang tawa kita bertiga yang juga secepat itu terdiam saat si Musa berjalan dan bisa ditebak, targetnya adalah aku.

*****

Akhir pekan selalu dianggap sebagai surga buat para pekerja yang enam hari penuh berjibaku dengan kerjaan mereka, tanpa jeda. Jadi, begitu ada waktu luang --meski teramat sebentar karena esok harus kembali kenyataan-- orang-orang kerap mengistimewakan yang namanya akhir pekan.

Jalan-jalan bareng pasangan, mengunjungi tempat wisata baru yang sedang ramai dibicarakan, ataupun mencicipi makanan yang tengah viral, oh, atau bisa hanya menghabiskan waktu ngebabu di rumah seperti salah satunya aku ini.

Bukan hal besar memang karena sedari jaman sekolah alih-alih akhir pekan itu membawa kebahagiaan, aku malah menjemput kecapaian. Kayak-kayak semua pekerjaan dilakukan di hari itu. Dan yang paling-paling membuatku sebal tentu tumpukan baju seabrek yang seminggu ke depan harus disetrika.

Mau menyetrika dua hari sekali seperti jaman sekolah, gak ada waktu pasti. Karena aku berangkat dari rumah pun pukul setengah enam, kapan lagi kalau bukan akhir pekan kan ngerjainnya? Masalahnya aku muak --hari ini-- karena dari pagi tak berhenti melakukan pekerjaan!!!

Tentang Kita, Asa, dan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang