sembilan

80 12 0
                                    


Pemberitaan mengenai datangnya virus yang membuat orang-orang turut panik menilik dari ngerinya pemberitaan di Wuhan, China, turut membuatku ketakutan juga. Meski banyak yang meyakini corona virus itu tak akan memasuki negeri ini, tetap saja rasa ngeri menggelayuti hati.

Terlebih beberapa hari ini semua orang rumah, kecuali aku, diterpa sakit yang tiba-tiba membuat tubuh mereka menggigil kedinginan namun badan panas tat kala tersentuh tangan. Bedanya, jika korona membuat hilang indra penciuman, kasus kedua orangtuaku malah sangat sensitif terhadap bau-bauan. Apalagi ibuku itu jualan di pasar besar yang pelanggannya bukan hanya dari warga setempat. Para bos-bos pabrik besar juga kerap datang. Ketakutanku semakin menjadi saat ibuku benar-benar tak kuasa menahan diri lagi.

"Periksa lah, Bu, ini udah panas banget loh." Aku masih terus membujuk ibuku yang menggigil kedinginan. Setelah kemaren pagi merawat bapak dengan keluhan serupa dan sorenya periksa, kini ibuku mengalami hal yang sama.

Namun kenyataan besar mengejutkan kami sekeluarga. Bukan sakit keras yang tengah dirasakan ibuku setelah seminggu belakangan mengeluh sakit kepala, bukan pula sakit serius yang menyebabkan ibuku sangat sensitif dengan bau-bauan. Melainkan karena saat diperiksa ibuku terdeteksi akan memiliki anak lagi.

Iya, saat ini ibuku tengah mengandung delapan minggu perkiraan dari hari terakhir ibu haid.

Aku yang mendengar kabar itu terdiam. Menatap kosong dinding hijau dimana aku mengantarkan ibuku periksa. Mau menangis tapi anehnya air mataku gak bisa keluar juga. Perasaanku saat itu...kosong? Hampa? Kaget? Gak menyangka? Ada semua.

Sore itu saat kami pulang dari bidan, gerimis kecil terasa di jalanan. Aku mengusulkan untuk mampir sebentar mengingat kondisi ibu yang kurang sehat, namun ibu menolaknya. Dalam diam, aku tahu ibuku saat ini tengah kepikiran. Meski tak terlihat namun aku merasakan ibu tengah menghapus air mata yang lewat di pipinya.

Ini seharusnya menjadi kabar yang menggembirakan kan? Tapi tidak untuk kami. Suasana rumah terasa sunyi padahal biasanya ramai mengisi. Kondisi adik juga orangtuaku yang masih sakit, lalu malamnya ke rumah mbakku menemaninya tidur karena suaminya di Jakarta seolah tak memberi aku waktu untuk mencerna semua ini.

Namun satu yang mengganjal di pikiranku, bagaimana denganku? Bagaimana dengan mimpiku?

Sebut aku egois, tapi pendaftaran sebentar lagi dibuka. Jika aku tetap lanjut, apa aku tega minta kuliah sedangkan kondisi keuangan pasti lebih dan lebih banyak keluarnya?

Lalu, apa aku tega pergi jauh dari rumah dalam kondisi mereka kesusahan?

Di sunyinya malam setelah memastikan ponakan juga mbakku lelap dalam tidur, aku menangis dalam diam. Pikiranku berkecamuk, ribut dengan segala kebingungan yang menumpuk.

Aku bagaimana? Jikalau tahun ini aku merelakannya lagi apa ada jaminan tahun depan aku bisa daftar? Apakah kebutuhan tidak semakin banyak lagi setelah adikku itu lahir?

Anti toxic

Me

Ibuku hamil.

Aku mengetik pesan itu ke grup chat yang berisikan aku, Cahya, juga Aini. Tak lama respon mereka memenuhi room chat grup kami dan seketika tangisku kembali mengalir lagi.

Cahya

Zi?

MasyaAllah, terus kondisi ibumu gimana?

Aini

Zi, berapa bulan? Kapan ketahuannya?

Aku menceritakan awal mula kondisi kedua orangtuaku, karena mereka pun tahu sebelumnya aku berperan seperti perawat di rumah saking sibuknya mengurus orang sakit. Lalu pemeriksaan yang dilakukan kemaren juga kondisi kedua orangtuaku terkini setelah menerima kenyataan ini.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: May 06 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

Tentang Kita, Asa, dan RasaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora