Empat

51 13 0
                                    


"Minggu depan?" tanyaku sembari membuka plastik yang membungkus kertas yang kini ada di tanganku. Senyum lebar kuulas lalu menatap manik mata di depanku yang juga menatapku. "Teman kerja?"

"Kenalan, Zi. Aku kerja di Rosetta, dia kerja di Wiyana."

Wajah terkejut tak mungkin bisa aku sembunyikan, tapi melihat siapa temanku ini, ya wajar. Dia banyak kenalan, jadi meski rumahnya berjauhan dan tempat kerja pun sangat berjauhan tetap kenal. Mungkin juga konsep jodoh yang berjalan? Bisa jadi.

"Dia tetangganya ayahku. Jadi, kenal dari situ."

Ah...gitu.

Kita cukup lama basa-basi sebelum akhirnya temanku yang ditemani entah siapa, aku tidak mengenalnya ini pergi ke tempat yang lain.

Aku menatap undangan pernikahan salah satu temanku, teman yang sejak pertama kenal ramah padaku, karena pembawaannya juga sebenarnya, dengan perasaan tak tentu.

Seringkali, aku bertanya-tanya, bagaimana seseorang bisa yakin bila lelaki ini, orang ini, adalah jodohnya, belahan jiwanya, atau apalah itu sampai akhirnya yakin ke tahap seserius ini. Pernikahan teramat sakral, tidak untuk permainan seperti saat berpacaran, jadi pasti membutuhkan waktu yang lama untuk memutuskannya kan?

Aku pernah bertanya konsep ini pada ibu juga mbakku, mereka kompak menjawab mendapatkan keyakinan dari apa yang mereka usahakan. Jawaban dari apa yang mereka cari sebelum akhirnya menentukan pilihan. Dan aku sampai sekarang belum juga mengerti konsep yang mereka maksudkan.

Apalagi aku ini sudah sangat hopeless mengenai percintaan. Apa ya, aku ngerasa gak jelek-jelek banget, gak kudet-kudet banget, ya meski aku gak bisa diajak keluar saking ketatnya aturan di rumahku, tapi anehnya gak ada cowok yang mengajakku pacaran atau hanya sekedar pendekatan. Kek... apasih?

Temenku jaman sekolah dulu, habis putus dari si A gak lama dapat B, terus nanti gak lama lagi C. Rerata gitu, atau kalau gak mereka sudah menjalin hubungan dari SMP dan masih berlanjut sampai sekarang.

Lah aku? Terakhir pacaran aja kelas delapan, putus pas naik kelas sembilan. Setelah itu? Gak ada satupun yang deketin aku.

"Mereka pada segan sekaligus gak berani sama kamu, Zi. Selain kamu galak, ketinggian juga. Mikirnya mereka seleramu juga pasti tinggi."

Ini ucap salah satu temanku saat aku mengeluh tentang keadaanku.

"Loh, bedanya aku sama kamu apa, Ris? Kamu loh wakilku, ranking juga, terus bedanya apa?" sanggahku pada opini Riska, temanku, saat kami selesai mengadakan rapat.

"Yang jelas, mereka segan. Kamu itu tegas, kayak pendirianmu kuat. Mungkin yang berani pacaran sama kamu ya yang sepadan, atau mungkin lebih tinggi. Bisa kakak kelas atau ya seperti Arbi."

Dan sejak saat itu aku jarang berharap lagi. Saking seringnya mendengar kalimat serupa saat aku mengeluhkan hal yang sama.

Halah, bilang saja gak ada yang suka kan enak ya, diperhalus segan. Orang Sahla saja banyak yang terang-terangan suka kok. Tapi tapi tapi...aku sama Sahla sangat berbeda.

Cantik? Semua orang setuju cantikan dia, kalem pula, lemah lembut tutur katanya, belum lagi tingkah lucunya. Aku yang cewek saja gemas melihatnya, apalagi cowok kan?

Sedangkan aku? Aku adalah kebalikan dari Sahla. Galak? Jangan tanya. Judes, tegas, gak mau ngalah --kecuali aku salah dan argumenku lemah ya. Sampai ada berapa ya? Tiga, atau empat teman cowok dulu bilang, 'yang berani sama kamu siapa sih, Zi? Gak kebayang nanti suamimu gimana kalau kamu segalak ini'.

Tentang Kita, Asa, dan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang