delapan

46 9 0
                                    



Aku akan dengan bangga saat orang bertanya apakah aku orang yang bertanggungjawab? Iya. Aku akan memasang wajah seyakin mungkin kala mengucapkannya. Apa yang ditugaskan kepadaku, sebisa dan semampuku akan aku usahakan sampai benar-benar selesai meski hasilnya kadang masih juga tak seperti yang diharapkan. Namun, yang jelas aku akan melakukannya semampu sebisaku.

Apakah aku orang yang on-time? Yups, untuk hal ini aku bisa dikategorikan sebagai orang tepat waktu kalau memiliki janji. Gak peduli sepagi atau sesiang apa itu tapi kalau sudah berjanji aku akan menepati.

Bukan untuk unjuk diri atau apalah itu, tapi dua hal di atas adalah hal yang diterapkan oleh keluargaku--seketat mungkin-- karena dua hal tersebut berkaitan sama orang lain. Kita bertanggungjawab kepada orang lain, dan itu sebabnya sebisa mungkin aku menepati semuanya.

Sayangnya untuk kali ini aku menyerah.

Aku bersikap pengecut untuk keputusan besar yang aku ambil dalam hidupku. Aku memutuskan keluar tanpa pamit dari pabrik.

Benar. Tanpa pamit.

Ada alasan besar--meski sekali lagi ini tidak bisa dibenarkan-- mengapa aku mengambil keputusan demikian.

Tepat setelah aku mendapatkan kontrak baruku, saat itu juga QA line ku ganti, line juga memproduksi produk baru yang sampelnya meski simpel tapi untuk ketentuan kualitinya jelimet. Dilihat dari proses sehari itu banyak permakan yang diantarkan dari QC finishing ke produksi, lalu kami para QC line dipanggil ke ruang inspeksi untuk melakukan meeting dadakan.

Dan disini lah hal yang tidak bisa lagi aku tolerir datang.

Aku ditempatkan di depan, karena produksi yang tak begitu memakan banyak proses jadi proses produksi tiap line dijadikan dua. Tengah juga depan. Dan aku di tempatkan di depan.

Orang-orang yang selama ini kerap melihatku seperti anak kecil dan tiap barang wajib permak selalu dikembalikan kepadaku terus-terusan. Barang banyak yang tidak lolos check sedangkan kuantiti juga dikejar. Akhirnya apa? Aku kena dampratan.

Apakah sudah selesai? Belum.

QC depan memiliki penomoran untuk menjadi penentu siapa yang checking. Aku mendapatkan nomor 46, jadi tiap celana yang lolos seleksi akan aku tulis di label dengan angka ini.

Pattern waistband tiap negara berbeda-beda, pun kode yang digunakan untuk menandai asal negara yang akan diimport barang ini.

Di hari selasa, partner baruku tiba-tiba dipanggil atasan untuk melakukan wawancara mewakili line dan otomatis aku kerja sendirian. Awalnya baik-baik saja, berjalan dengan lancar karena semakin hari tim produksi memenuhi keinginan buyer.

Sayangnya, siang harinya saat selesai istirahat, kami semua, QC yang memproduksi hal serupa dipanggil di ruang inspeksi. Di sana, tumpukan boks berisi celana hitam bertumpukan dan saat aku baru tiba langsung terkena dampratan Musa.

"46 siapa? Kamu, Zi!" Aku mengangguk dalam diam meski malu karena langsung menjadi pusat perhatian. Musa dengan tiba-tiba melemparkan celana permakan ke depan wajahku sebelum semakin berteriak semakin lantang. "Kamu lihat! Itu satu boks besar semua milikmu. Kamu selama ini kerja ngapain saja? Baru tiga hari produksi permakan sudah sebanyak ini, gak ada yang lolos semua barangmu!"

Kaget? Tentu saja. Terus aku kerja apa kalau gak ada satupun barangku yang lolos di finishing?

Mbak Atul yang kebetulan berdiri di sampingku melongok ke arah boks besar dan matanya menyipit memintaku untuk memeriksa pakaian yang berkumpul menjadi satu disitu sedangkan Musa masih mengeluarkan amarahnya.

Sembari mendengarkan caciannya padaku, aku memeriksa satu persatu label, dan tahu apa yang aku temukan?

"Nomornya mbak Rina kebanyakan, Zi," bisik mbak Atul pelan sedangkan aku sudah menahan tangis mati-matian.

Tentang Kita, Asa, dan RasaWhere stories live. Discover now