tujuh

47 7 0
                                    



Apa yang biasa orang lakukan saat menjelang tahun baru?

Yups, membuat resolusi apa saja yang ingin dicapai setahun mendatang, tentu saja. Dengan kiat-kiat untuk mewujudkannya meski kenyatan yang dijalani akan sangat berbeda. Lalu, mengevaluasi apa yang sudah dilewati setahun ini, membenahi apa yang perlu diperbaiki, dan endingnya, mensyukuri semuanya yang terjadi.

Tahun ini itu apa ya? Sesuatu yang menyenangkan sekaligus titik rendahku? Sebut saja begitu. Biar aku ceritakan secara singkat mengapa menjadi dua hal yang langsung bertolak belakang begini.

Yups, aku lulus dengan predikat mendapatkan nilai tertinggi, dari UNBK yang nilainya memuaskan, mengikuti UMPTKIN dan berhasil lolos pada jurusan yang aku inginkan. Sayangnya, semua kebahagiaan itu langsung lebas hilang tanpa sisa saat pengumuman pembayaran UKT dibuka. Ya, tidak sesuai harapanku. Kebodohanku juga sih tidak mencari banyak hal tentang perbedaan kampus negeri dan kampus islam negeri. Mikirku dulu sama saja, ternyata enggak.

Ditambah permasalahan yang cukup membelit karena saat aku minta pengajuan pendaftaran bidikmisi guruku tidak melakukannya. Pendaftaran SNMPTN pun tidak sesuai regulasi yang ada. Intinya mereka membuat kecerobohan hingga menghancurkan harapan yang aku bangun.

FYI, nilai raporku mengalami peningkatan yang signifikan. Tapi sewaktu aku cek, semua dibuat merata. Bahkan nilainya dikurangi dari rata-rata yang ada. Katanya biar mudah keterima. Bukankah nilai asli tanpa rekayasa punyaku chkup memuaskan? Tapi entahlah.

Pendaftaran itu melalui berbagai tahapan, dari skrining nilai dan sebagainya. Aku sudah meminta guruku dari Desember tahun sebelumnya karena info dari temanku yang sekolah di negeri, mereka sudah mempersiapkan semuanya. Tapi apa? Tidak dipedulikan. Selalu beranggapan santai saja hingga saat satu hari menjelang penutupan pendaftaran, disaksikan teman sekelas, aku dinyatakan tidak bisa mengikuti pendaftaran SNMPTN.

Ekspresiku saat itu? Tentu terkejut, bertanya-tanya bagaimana bisa. Teman sekalasku pun sama, bertanya-tanya apa kendalanya. Lalu, apa jawaban guruku itu?

"Kamu daftar mandiri di swasta aja, Zi, langsung masuk tanpa tes-tes."

Siang itu, sekuat tenaga aku menahan diri agar tidak menangis dan memaki guruku ini. Iya, beliau dengan santainya mengatakan hal demikian karena berasal dari keluarga berada, tak peduli berapa biayanya. Sedangkan aku? Aku berusaha mendapatkannya agar beban orang tuaku berkurang.

Belum selesai sampai disitu. Akhirnya aku dengan lapang dada mengikhlaskan semuanya. Aku menceritakan semuanya pada Aini juga Cahya, temanku yang ada di sekolah negeri tentang apa yang menimpaku ini. Mereka menyayangkan kecerobohan yang dibuat guruku padahal info pendaftaran diumumkan dari tahun sebelumnya.

Mereka juga menyarankan untuk mengikuti UTBK karena mereka pun mengikutinya, jaga-jaga kalau tidak keterima jalur undangan.

Seminggu kemudian aku kembali menemui guruku itu. Sayang, harapan terakhirku dihancurkan kembali dengan jawaban yang tak kalah menyakiti hati.

"Loh, kamu gak bilang sejak awal sih, Zi, ya nggak ibu daftarin."

Kek, what?? Aku bahkan dari Desember sudah mengatakan itu pada beliau. Hampir di setiap pertemuan aku mengatakan.

"Gak usah pakai beasiswa begitu, Zi, ribet. Mending bayar sendiri, cepet dan pasti keterima."

Dengan amarah yang mungkin bisa saja meledak itu, aku memilih pergi dan langsung menemui kepala sekolahku. Mengatakan apa masalahnya lalu mengungkit semuanya.

"Ibu bilang jika saya sekolah disini akan dimudahkan mendaftar di kampus negeri kan? Tapi apa, Bu? Kenapa saya diperlakukan seperti ini? Sudah dari Desember saya memberitahu segala informasi berkaitan bidikmisi maupun SNMPTN, tapi apa? Mengapa malah disepelekan dan akhirnya saya gak dapat apa-apa?"

Tentang Kita, Asa, dan RasaWhere stories live. Discover now