Enam

58 11 0
                                    

"Zi, kamu perpanjangan kontrak minggu depan aja ya? Kalau untuk minggu ini, gak ada gantinya. Siska dan Laili ambil minggu ini."

Aku yang baru saja ujian QC dan berencana untuk mengambil perpanjangan kontrak minggu ini akhirnya hanya bisa menghela napas pasrah. Surat pengunduran diri --untuk memperbarui kontrak baru-- sudah aku tulis sejak dua hari lalu setelah bertanya apa saja yang aku butuhkan lewat mbak Atul.

Belum lagi surat keterangan dokter, tes mata di klinik, dan lainnya sudah aku siapkan untuk mengambil libur jangka panjang akhir tahun sekalian. Meski tidak ngapa-ngapain juga di rumah, membayangkan libur dari hari senin dan berangkat saat tahun baru kan waktunya longgar, minggu sampai rabu libur. Pikirku gitu. Eh, kuotanya full.

"Yaudah deh, mbak. Aku ambil minggu depannya," putusku mengambil jatah libur di tanggal tiga dan empat. Jumat-Minggu libur lah ya.

Aku kembali menekuri pekerjaanku dengan lebih teliti lagi karena sekarang ganti barang produksi. Denim. Memang tidak seribet checking seperti produksi sebelumnya, hanya saja karena yang aku hadapi sekarang denim berwarna putih, belum lagi ukurannya subhanallah guedenya yang satu lubang celana bisa jadi rok untukku, tanganku otomatis terangkan tinggi untuk memastikan tidak ada noda ataupun kesalahan di checking minim ini.

Aku hanya memeriksa back yoke sama obras samping. Udah.

Namun ya, seberhati-hati apapaun aku, sampai masker kembali aku kenakan untuk meminimalisir kotoran, mbak Rina, QC depan, dengan tidak rasa bersalahnya mentransfer lipstik yang konon transferproof waterproof atau apalah apalah itu di denim putih yang tengah aku kerjakan.

Kek... Aku sampai gak bisa berkata-kata saking sebalnya. Mana saat pencarian tersangka ini orang tak mengakui bila salah satu orang produksi tidak bilang kalau mbak Rina baru saja mencoba lipstik baru.

"Emang gak genah ini orang. Kok bisa kena lipstik membentuk bibir utuh. Ngetes kok langsung barang produksi, gendeng."

Mbak Upih yang membantuku membersihkan noda merah menyala di kain putih itu terus saja ngedumel memaki tingkah mbak Rina yang tidak mengambil pusing perihal ini.

Aku yang hampir kena marah semua orang, dari jajaran supervisor, fidder, QA, hanya bisa menggumamkan kebencian dalam diam.

Untung saja orang-orang tahu aku hanya mempunyai satu warna lipstik, itupun setelah jam makan siang tidak lagi apply karena aku tidak membawanya. Dan lagi, lipstik yang aku pakai warnanya pink, menyerupai warna bibir. Dan ya, di sebelah noda lipstik itu ada juga noda dempulan kuning yang pastinya bedak tebal tercetak jelas di sana. Kek...dia ini lakuin apa sampai semuka-muka nemplok disana semua?

Untung noda hitam pekat dari alis Shinchan dan eyeliner nya gak ikutan. Bisa-bisa itu semuka-muka ngemblok disana.

Dan, kalaupun nuduh aku yang melakukannya, karena aku yang megang barangnya, gak bakal mungkin. Aku aja yakin bedak yang aku pakai di rumah terbang di jalan sewaktu berangkat saking cepatnya aku mengemudikan kendaraan.

"Kesel banget aku, Mbak. Hampir aja kena dampratan semua orang. Gitu orangnya kok ya gak ngaku kalau itu dia? Tadi mbak Arum udah ketakutan banget karena yang pakai lipstik merah di belakang cuma dia. Gila emang," dumelku seraya menyikat pelan serat kain yang lebih dulu mbak Atul beri taburan bedak bayi.

"Mbak, mengkerut ini, mana gak sepenuhnya hilang," lapor mbak Atul dengan wajah sebal menahan kesal.

Gimana gak kesal coba, kami harus memangkas waktu istirahat hanya untuk membersihkan ini noda lipstik sedangkan pelakunya dengan santai baru kembali makan bakso di koperasi. Kek otaknya itu dimana?

Ya rabbi, sepertinya hampir tiga bulan disini bicaraku juga ikut buruk. Tapi aku sedang kesal sekali ini.

"Bisa ilang gak, Tul?"

Tentang Kita, Asa, dan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang