Lima

49 10 0
                                    

Akhirnya aku merasakan yang namanya rutinitas kerja yang dulu sering mbakku buat story. Kerja-pulang-tidur, begitu terus. Dan aku kini mengalaminya.

Setelah lembur pertama itu, kini akhirnya aku bisa lembur full saban hari meski cuma satu jam. Gapapa, aku udah bahagia karena mencium bau-bau tebalnya kertas yang akan masuk ke dompet.

Iya, aku gak sabar menunggu gajian. Sudah aku plan dalam pikiran mau aku apakan itu uang. Yups, beli handphone tentu saja. Handphone yang aku pakai sekarang sangat-sangat menjengkelkan, semakin membuatku cepat emosi karena sudah terlalu tua mungkin.

Hapus-hapus aplikasi yang tidak digunakan sampai hanya tersisa beberapa saja seperti WhatsApp dan galeri, lalu foto-foto di galeri yang juga harus dipilih karena memori selalu penuh tak mencukupi. Menyebalkan.

"Ini loh, Zi, a20 cukup-cukup uangnya. Bayaran kemaren masih kan? Ditambah lemburan nanti."

Aku kembali menekuri merk-merk apa saja yang ada di brosur yang sengaja temanku bawa, yang ia ambil saat pulang kerja kemaren. Aku bahkan tidak mau repot-repot menerima selebaran brosur yang diberikan di jalanan karena macetnya yang parah tiap jam pulang sudah membuatku sebal.

Namun, berkat niatan mau beli handphone ini, sore ini aku berencana akan menerima brosur itu. Sedangkan untuk saat ini, masih memilih mencocokkan dengan dana yang aku punya.

"Nanti kan gajian, Zi, pas ini sabtu juga, langsung beli lah. Mau tak anter?"

Aku menggeleng dalam diam masih memperhitungkan apa yang musti aku pilih dari sekian banyaknya yang ada di brosur.

"Aku beli minta dianter ibuku lah, mbak, gak bawa uang juga ini."

"Aku pinjemin dulu mau? Sekalian aku antar misal kamu gak berani beli sendiri."

Sekali lagi aku menolaknya, karena ya selain aku tidak bawa kartu dan sisa uang di dompetku tinggal dua puluh ribu.

"Jadi, nanti gak bisa ikut makan-makan? Ada mbak Kum sama mbak Piah. Ikut lah, Zi, gak pernah ikut makan bareng kan?"

Karena benar, setiap Sabtu, beberapa orang di line akan makan bersama di rumah makan atau restoran terdekat, bahkan minggunya mereka dan para pasangan entah suami atau pacar akan mengunjungi tempat wisata yang viral atau baru dibuka. Sedangkan aku? Masih sama, gak ada agenda itu-itu. Pulang ya pulang, enakan makan di rumah bareng keluarga. Semangkok mi ayam atau bakso dari hasil gajian.

"Enggak, Mbak, aku langsung pulang."

"Loh kok gitu, dek?" Mbak Upik langsung bertanya saat kami sudah siap-siap pulang.

"Mau beli hape dia, mbak." Mbak Atul mengambil alih jawaban dan aku hanya menganggukkan kepala dengan senyum lebar.

Kami keluar bersama menuju parkiran yang antrenya bisa sampai setengah jam. Kami berpisah di depan pusat perbelanjaan karena mereka akan makan-makan disana, sedangkan aku tetap lurus bersiap menuju rumah dan bersiap membeli handphone baru.

*****

Aku terdiam, meski dalam pikiran menghitung jumlah uang yang tersembunyi di balik jaket yang aku kenakan. Katakanlah aku kampungan, norak, atau apalah itu, karena memang untuk kali ini aku tengah memperhitungkan uang serinci mungkin.

Iya, kesannya terlalu pelit pada diri sendiri, tapi ngerasain capeknya berdiri nyari uang tuh, begitu ingin membelanjakannya aku harus mikir berulang-ulang. Ini kalau handphone ku masih bisa digunakan juga gak bakalan aku ganti, tapi ini tetap kudu diganti, sudah parah.

Dan aku saat ini hanya membawa uang satu juta empat ratus, bayaran dua minggu ini. Dan...pas, ada satu handphone yang harganya segitu.

"Uangnya pas?" Aku menoleh, menganggukkan kepala tat kala mas Rudi, kakak iparku, bertanya.

Tentang Kita, Asa, dan RasaWhere stories live. Discover now