1

1K 127 20
                                    

Rumput hijau dihinggapi bulir embun pagi. Terlihat kabut di sekitar pemakaman menghalangi sedikit penglihatan.

Orang-orang dengan pakaian serba hitam terlihat mengelilingi sebuah kuburan baru. Masih basah. Masih tertinggal kenangan hidupnya.

Banyak yang menangisinya akibat teringat kemalangan masa hidup wanita itu. Namun yang paling menyedihkan, anaknya yang ditinggalkan. Anaknya yang sedang duduk meringkuk di sebelah batu nisan.

"Berapa usianya? Kurus sekali."

"Apa dia masih sekolah?"

"Wajahnya sangat mirip dengan pria itu."

Seseorang melirik tidak suka pada segerombol manusia yang tak tahu suasana. Ia dengan lekas berjongkok di hadapan pemuda yang berbalut trench coat hitam usang.

"Jayan, ayo kita pulang."

Mata sendu itu balik menatap wanita yang sedang tersenyum. Tubuhnya yang ringkih sedikit terhuyung akibat rumput yang licin. "Pulang tanpa Ibu?"

Rossie berusaha tersenyum. "Jayan, Ibumu selalu berada di sini." Wanita itu membawa telapak tangan Jayan yang dingin untuk menyentuh dadanya.

"Benarkah?"

Wanita itu mengangguk. Entah lelaki ini paham dengan perkataannya atau tidak, yang terpenting, Jayan mau mengikutinya sekarang.

Tidak ada alasan untuk menolak tawaran ini. Di antara banyaknya orang yang datang ke pemakaman Ibunya, hanya wajah Rossie yang Jayan kenal.

Jayan menerima uluran tangan wanita itu. Memulai kehidupan baru. Keluar dari penjara yang diciptakan Ibunya. Mulai berjalan dengan kakinya sendiri menghadapi kenyataan dunia.

***

Tubuhnya melengkung seperti bulan sabit. Satu kaki jenjangnya merentang ke belakang dengan lenturnya hingga sejajar bahu bidang.

Satu kaki yang menumpu seluruh beban tubuh berjinjit kokoh. Hanya balutan leging hitam ketat yang menutupi tubuh bawahnya hingga ujung jemari kaki.

Matanya terpejam damai. Kepalanya menengadah begitu nyaman. Sudah beberapa menit pada posisi ini, namun keseimbangannya tetap bertahan.

Nyanyian alam mengiringi tarian anggunnya. Ranting pohon yang saling bergesekan bagai ritme menjadi penentu gerakan selanjutnya.

Surai pirang lelaki itu begitu halus. Terlihat mudahnya angin meniup hingga berhamburan dari tatanan.

Sinar jingga sore masuk dari jendela yang sengaja dibuka, menyoroti tepat wajahnya. Mata ambernya terlihat menyatu dengan warna langit.

Napasnya memburu. Keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat licin dada telanjang lelaki itu.

Jayan mengambil minuman yang sudah disiapkan. Beberapa tetes air lolos dari mulutnya sampai mengalir jatuh membasahi celana.

Punggung tangannya mengusap bibir yang basah. Lelaki itu menoleh ketika mendengar langkah sepatu tinggi yang sudah ia hapal.

"Selamat sore, Ibu!"

Rossie tersenyum. Pelayan yang mengikutinya segera menyajikan teh madu yang masih mengepul asapnya.

"Setelah ini, apalagi jadwal Jayan?"

Dia terlihat berpikir. Jayan segera menarik kursi kayu untuk mempersilakan wanita itu duduk.

"Kelas melukis, Bu." Jayan menerima dengan senang hati cangkir teh yang disodorkan wanita itu.

Rossie membelai pelan surai pirang itu. Anak yang dibesarkannya tiga tahun ini sudah berubah menjadi lelaki yang rupawan.

PersonaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang