4

659 88 28
                                    

Anak buahnya menyodorkan pipa cangklong yang isinya bukan tembakau biasa. Asap yang menguar membuat jiwa tenang sesaat. Asap yang membuat jiwa tersesat.

Seorang pria dengan tuxedo hitam menatap datar pada manusia yang menunggu penghakiman darinya.

Jeritan memohon ampun menambah rasa tidak nyaman di ruangan. Salahnya berkhianat. Pria itu sangat membenci pengkhianatan.

"Lepaskan dia."

Pengawalnya hanya menurut. Walau di kepala mereka muncul banyak pertanyaan, tapi diam membisu adalah pilihan paling tepat untuk saat ini.

"Tuan, ampuni saya! Saya sudah bertindak bodoh! Ampuni saya sekali saja!" Matanya yang bengkak dipaksa mengeluarkan air mata. Wajah pria itu penuh luka lebam.

Jarinya berurutan mengetuk pelan lengan kursi. Seperti sebuah irama. Irama kematian yang semakin membuat manusia itu tenggelam pada keputusasaan.

"Tentu saja." Dia tersenyum. Arah pandangnya beralih pada pengawalnya. "beri dia minum. Tamuku pasti sangat kehausan."

Harusnya pria itu merasa senang. Namun raut wajahnya bertambah pucat. Apalagi melihat sebuah gelas yang disodorkan padanya.

"Minumlah perlahan."

Isak tangisnya terdengar. Pria itu mengambil gelasnya dengan tangan bergetar. Menatap pada mata kelam di hadapannya.

Dengan sekali tegukkan, air itu sudah menyatu dengan darah dagingnya. Tak berlangsung lama, tubuh pria itu tumbang. Tubuhnya kejang dengan mata melotot lebar.

Suaranya seperti hewan yang disembelih. Bersamaan dengan kulit lehernya yang melepuh dari dalam. Menghancurkan perlahan tenggorokannya.

Luka yang menganga lebar itu dipandangnya dalam diam. Terlalu santai untuk seseorang yang baru saja menyaksikan ajal kematian.

"Berapa banyak yang dia gelapkan?"

"Sepuluh kontainer, Tuan Noah."

Pria itu menggeleng miris. Berani melawan kuasanya hanya demi barang curian tak seberapa. "Pembeli lain sudah menerima barangnya?"

"Tentu, Tuan. Semua barang sudah mendarat aman."

Sing menjetikkan jari. Seperti sebuah kode, para pengawalnya langsung menyingkirkan mayat itu. Dia bangkit dari duduk, berjalan menuruni tangga yang semakin minim cahaya.

Pria itu mengambil masker dari saku kemeja untuk melindungi pernapasan. Sing tetap dengan langkahnya yang tegas melonggarkan sedikit dasi kupu-kupunya.

Ruangan pembuatan mahakaryanya itu sedikit panas. Para pekerjanya di balik baju safety cukup tersiksa. Sing terus membawa kaki panjangnya menuju tempat pengemasan.

Berlimpah suatu benda di depan mata. Lebih indah dari permata menurutnya. Senyuman Sing terlihat pada pantulan itu. Senyuman menawan yang tak pernah dilihat orang lain.

***

Jayan memperhatikan papan mading yang menampilkan informasi ekstrakurikuler. Beberapa club sudah penuh. Beruntung club balet masih menerima pendaftaran. Sepertinya sedikit diminati di sini.

Lelaki itu mengambil brosur pendaftaran. Melipatnya rapi dan memasukkannya ke dalam saku celana. Jayan berencana pergi ke ruangan Sing.

Jam istirahat baru saja, dan Jayan berpisah dari Morgen yang sekarang mungkin sudah mengantri hidangan makan siang. Jayan tersenyum mengingat akhirnya dia punya teman.

Namun dia sedikit heran, Sing bilang akan pulang terlambat. Tapi sepertinya pria itu tidak pulang ke rumah semalaman.

Jayan tahu akibat ia tetap tidur di sofa sampai pagi. Biasanya, pria itu akan memindahkannya ke kasur.

PersonaeWhere stories live. Discover now