5

512 81 8
                                    

Jayan membandingkan kertas pendaftaran yang terdapat beberapa potret. Benar ini ruangan club balet. Tetapi suasana di sini terlihat longgar dan sepi.

Akhinya Jayan mengetuk pintu. Tidak terdengar suara orang menyahut dari dalam, membuat Jayan menekan gagang pintu. Tak terkunci, Jayan dengan penuh keyakinan membawa tubuhnya masuk.

"Halo? Ada orang di sini?" Sepatunya memecah kesunyian. Tapi alih-alih heran karena hanya ada dirinya, lelaki itu malah takjub melihat ruangan balet yang begitu luas.

Tiga jendela sejajar dengan jarak tak terlalu jauh menyambutnya. Masih di depan jendela, dua tiang saling menghubung hingga membentuk setengah bundar. Ukiran dalam tanaman merambat pada dinding terlihat mendominasi.

Tirai jendela dibiarkan terikat pada sisi samping. Mempersilakan sinar matahari masuk bebas. Selebihnya hampir semua dinding di sana tertutup oleh cermin bersih.

Tiang barre putih penyangga terlihat serasi dengan ruangan berwarna almond semi abu. Lantainya cokelat terang terlihat memantulkan cahaya. Mengkilap seperti menatap bintang dari pantulan air.

Di kediamannya dulu, ruang latihan Jayan sudah besar. Tapi di sini, Jayan bisa mengira ini lima kali lebih luas.

Tapi aneh sekali, apa semua orang sudah pulang? Padahal Jayan yakin bahwa dia sudah tepat waktu.

Dari pantulan cermin, seorang lelaki masuk ke dalam ruangan. Sepertinya ia juga terkejut dengan kehadiran Jayan.

"Halo! Jayan ingin mendaftar di club ini." Dia menyerahkan kertas pendaftaran yang sudah diisi dengan data diri.

Lelaki itu membaca sebentar sambil memperhatikan Jayan sekali lagi. "Siswa baru? Namaku Peter. Ketua club balet di sini."

Hampir dia ingin berucap, lelaki itu sudah lebih dulu menyela. "Kau Jayan, benar?"

"Benar!" Jayan mengangguk semangat. Ia membuntuti Peter dengan langkah tergesa, membuat suara sepatunya semakin nyaring.

"Langsung saja tunjukkan kemampuanmu." Peter berbalik badan, melempar tasnya yang tersampir di bahu ke sembarang arah.

Jayan di posisinya mulai melakukan gerakan menawan tanpa ditemani musik.

Lompatan besarnya berganti dengan satu kaki ke kaki yang lain. Tubuh Jayan berputar sepenuhnya. Kakinya yang menjadi tumpuan seluruh beban tubuh menekan suatu titik lantai, hingga sepatu kulitnya berjinjit sempurna.

Ekspresi wajahnya mengunci perhatian Peter. Mata Amber itu menghipnotisnya. Mata yang semula terlihat biasa saja, kini penuh dengan emosi yang berhasil tersampaikan.

"Cukup."

Aura di ruangan itu akhirnya melonggar. Walau sebentar, napas lelaki itu memburu. Dia sudah melakukan yang terbaik. Sekarang tinggal menunggu keputusan Peter.

"Sejak kapan kau menyukai balet?"

"Jayan menyukai balet sejak kecil." Wajahnya semakin cerah. "tapi baru belajar sekitar tiga tahunan."

Peter mengangguk paham. Wajah lelaki itu kini lebih santai. "Selamat bergabung, Jayan. Besok perkenalkan dirimu di depan anggota lain."

Hampir Jayan berteriak. Namun lelaki itu menahannya sekuat tenaga. Sampai ketika keluar dari sana, barulah dia menjerit sejadi-jadinya.

Peter yang mendengar sayup-sayup suara itu menggeleng kecil. Anggota baru mereka sangat menarik.

***

Jayan bersiul kecil. Langkahnya riang melompati bebatuan dengan zig-zag. Tidak sabar lelaki itu berbagi kabar gembira dengan Sing. Namun langkahnya terhenti akibat suara seseorang yang memanggil.

"Jayan!" Morgen berlari. Sweater merah mudanya yang longgar ikut berayun. Lelaki itu terlihat lebih santai pakaiannya. Memang sudah berakhir jam sekolah Mutu Ombrogio.

"Sudah selesai mendaftarnya?" Memang Jayan menceritakan perihal keinginannya masuk club balet.

Sayang sekali Morgen sudah terlanjur masuk club teater. Padahal Morgen sedikit tertarik dengan dunia balet setelah mendengar cerita Jayan.

"Jayan diterima!" Lelaki itu menarik tangan Morgen tiba-tiba, mengajaknya berdansa.

Morgen yang tubuhnya sedikit lebih rendah dari lelaki itu hanya bisa tertawa pasrah. Tubuhnya bergerak ke sana kemari dibawa Jayan.

"Morgen sedang apa di sini?" Lelaki itu baru sadar dengan banyaknya siswa lain di sekitaran.

"Bersiap-siap mengantri makan malam. Sebentar lagi nilaimu sudah cukup untuk makan bersama, kan?"

Jayan terlihat berpikir, namun kepala lelaki itu tetap mengangguk mengiyakan.

"Kamar asramamu nomer berapa? Apa aku bisa mampir ke sana?"

"Ah, Jayan tinggal di sana." Lelaki itu menunjuk satu rumah yang menyendiri dari keramain. Membuat Morgen yang jelas tahu tempat itu terlihat terkejut.

"Tinggal dengan kepala sekolah kita? Apa kalian keluarga?"

Jayan mengangguk. "Ya. Kami bukan orang asing."

Morgen tidak memahami maksud Jayan. Namun lelaki itu tak sempat menggali lebih dalam, akibat Jayan sudah memberikan salam perpisahan.

Jayan melanjutkan langkahnya. Sampai ketika matanya berbinar, akibat melihat dua anjing lucunya menerjang.

"Geli! Hentikan!" Jayan tertawa lebar. Lelaki itu terduduk di rumputan sambil mencoba menahan serangan jilatan Bogy dan Bigy.

Sing yang memang sejak tadi mengamati Jayan dari kejauhan, segera keluar rumah. Pria itu bersedekap memandangi Jayan.

"Ada orang yang menyuruhku berjanji pulang cepat. Tapi malah dia yang terlambat."

Jayan menampilkan deretan giginya. Lelaki itu menyatukan telapak tangan dengan sorot mata memelas. "Maaf, Sing. Jayan habis mendaftar club balet." Lelaki itu tiba-tiba saja menubruk tubuh Sing. Memeluknya dari samping. "Jayan diterima!"

Sing tersenyum. Mengusap pucuk kepala Jayan pelan. "Senang mendengarnya."

"Apa Bogy dan Bigy sudah makan?"

"Mereka hanya ingin diberi makan olehmu." Sing tidak berbohong. Pria itu sudah memberi daging mentah yang biasa Jayan berikan. Tapi anjing itu tidak patuh padanya.

"Itu karena Sing tidak melatih mereka. Begini cara memberinya." Jayan berlari masuk ke dalam rumah, mengambil dua potong daging sapi untuk hidangan anjingnya.

Lelaki itu berdiri di tengah-tengah Bogy dan Bigy. Mengangkat potongan daging di hadapan wajah anjing itu.

"Duduk." Suara Jayan yang serius membuat Sing mengangkat alisnya. Baru kali ini pria itu mendengar nada rendah Jayan yang serak dan dalam.

Jayan menatap kedua anjing itu, tepat di matanya. Dia menaruh perlahan irisan daging ke rumputan begitu saja tanpa alas. Dua anjing itu tidak bergerak. Tetap pada posisi duduk menunggu perintah selanjutnya.

Suara siulannya membuat kedua anjing itu bergerak. Jayan menyeringai. Kedua anjingnya patuh melahap daging itu. Sing ikut tersenyum tipis.

"Kau pandai melatih mereka."

Jayan berbalik sambil tersenyum manis. "Tentu saja! Anjing ini harus berguna!"























PERSONAE 𓆩ᥫ᭡𓆪





















To be continued...

PersonaeWhere stories live. Discover now