8

651 96 26
                                    

Di bawah langit yang mendung, tanah kuburan terasa basah. Di antara baris batu nisan mengintai, ada aroma tanah segar mencampur dengan harum bunga yang diletakkan dengan penuh penghormatan.

"Turut berduka cita atas meninggalnya putra Anda." Sing menunduk pada seorang pria yang penampilannya menyedihkan.

Wajar dia merasa begitu kehilangan, mengingat putra semata wayangnya pergi diusia muda.

Pria itu tersenyum kecil, berusaha terlihat tegar. Istrinya di samping gundukan tanah masih tampak tak terima dengan jalan takdir.

Berkali-kali wanita itu menegaskan anaknya tidak punya riwayat jantung. Dia serta suaminya tak punya penyakit turunan. Bagaimana bisa hasil otopsi dari semua rumah sakit menegaskan anaknya tutup usia akibat itu?

Sing hampir membawa langkahnya untuk menghampiri wanita itu. Namun dia lekas berjalan menjauhi. Sepertinya tidak sudi bertemu dengan seseorang yang dia anggap penyebab kematian putranya.

Orang-orang mulai bubar dari pemakaman. Memang sedikit terlambat mengebumikan Ben. Ibunya terus saja mencari jejak kebenaran di tubuh itu.

Sing masih setia memandangi nama yang terukir di batu nisan. Pohon-pohon bergelayutan dalam salju. Bisikan angin mendayu bersama serpihan putih yang turun perlahan.

Kekacauan berujung senyap. Betapa mudahnya pria itu membereskan seperti membalik telapak tangan, hingga tak ada yang mencium bau bangkainya.

Sing mengambil ponsel, menghubungi seseorang di sana. Dering kedua, sambungan mereka terhubung. "Razia sekolah. Sekarang juga."

***

Jayan memperhatikan Morgen yang sedang berlatih ekspresi di depan cermin. Mereka berdua berada dalam ruang latihan club teater.

Morgen mengajaknya berkeliling sekolah, dan mereka berakhir di ruangan itu. Anggota club tak ada di tempat, menjadikan Morgen bebas membawa Jayan masuk.

"Bagaimana penampilanku?"

Jayan tertawa kecil saat Morgen memakai gaun satin berwarna biru laut. "Aku sering dapat peran wanita, makanya gaun ini pas di tubuhku." Morgen berputar, membuat bagian bawah gaunnya mengembang indah.

"Morgen terlihat cantik." Jayan tidak pernah sadar perkataannya mampu membuat pipi lelaki itu memerah.

Alis Jayan terangkat ketika Morgen batuk. "Morgen sakit? Ah, sepertinya flu Jayan menular." Dia teringat Sing yang tadi pagi bersin hebat. Jayan merasa bersalah.

Morgen menggeleng keras. Wajah murung Jayan membuatnya panik. "Tidak! Aku hanya tersedak." Lelaki itu terlihat kikuk.

Entah bagaimana suasana berubah canggung. Sebenarnya Morgen sedikit merasa Jayan agak berbeda dari temannya yang lain.

Lelaki ini seperti anak kecil ketika berbicara. Matanya juga tak ragu ketika menatap tepat di netra seseorang. Membuatnya sedikit ... berdebar.

Jayan menarik sudut bibirnya, Morgen langsung mengalihkan pandangan. "Ba-bagaimana latihanmu? Apakah sulit?"

Lelaki itu menghela napas. Menarik sedikit lengan kemejanya, memperlihatkan kepada Morgen bahwa tubuhnya penuh memar.

Morgen dengan wajah panik tergesa mendekat. "Itu pasti sakit sekali."

Jayan mengangguk tidak membantah. Tetapi inilah kesukaannya. "Tak apa, nanti juga sembuh sendiri."

Mulut Morgen berdecak. Dia bersedekap di depan Jayan. "Kau yakin ini memar akibat latihan? Anggota di sana memperlakukanmu dengan baik, kan?"

Jayan mengangguk cepat. Semua orang di sana ramah padanya. Hari pertama mungkin tidak terlalu bagus. Tapi sekarang, Jayan sudah cukup akrab dengan anggota lain.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PersonaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang