2

759 119 32
                                    

Di bawah cahaya temaram lampu gantung menjadi titik kumpul. Meja kaca bundar sudah dipenuhi berbagai macam menu hidangan yang menarik.

Bukan hanya tampilan, kualitas rasa juga juara. Rossie berani menyombongkan mahakarya koki terbaik di kediamannya. Semuanya harus sempurna untuk menjamu pria itu.

"Sekolah? Jayan sudah boleh sekolah?!"

Rossie tersenyum mendengar nada girang dari anaknya. Keputusan tepat meminta bantuan Tuan Sing untuk pendidikan Jayan.

"Benar. Kau sangat bersemangat, ya?"

Jayan menoleh mendengar pertanyaan dari samping. Keduanya saat ini bertatapan. Sing yang duduk di sebelah membuat Jayan menggeser kursinya lebih dekat.

"Jayan sekolah di mana?" Dia berbisik, mengira suaranya tidak akan terdengar. Padahal kedua pelayan yang bertugas menuangkan minuman bisa mengetahui jelas percakapan itu.

"Sekolah di tempatku." Sing terkekeh melihat wajah bingung Jayan. Pria itu menoleh menatap bergantian wajah Ozen dan istrinya. "jika tidak keberatan, aku ingin bicara berdua dengan Jayan."

Rossie dan suaminya mengangguk setuju. Jayan menerima uluran tangan Sing dengan senang hati. Mereka bergandengan. Berjalan pelan melalui lorong temaram.

"Kau menyukai balet?" Sing melihat sepanjang dinding lorong di penuhi foto Jayan dalam bingkai besar. Lelaki itu terlihat tambah menawan dengan kostum balet bewarna putih tulang.

Jayan mengangguk cepat. "Sangat suka."

"Kebetulan sekali, di sekolah ada club balet. Kau bisa mendaftar di sana." Sing mengusap punggung tangan Jayan dengan ibu jarinya.

"Sepertinya menyenangkan. Apa Sing juga teman sekelas Jayan?"

"Tidak. Aku menjadi gurumu di sana."

Matanya membulat. Memang pria di depannya ini terlihat dewasa. Suaranya juga sama berat seperti Ayahnya.

"Memangnya umur Sing berapa?"

Sing menghadap sepenuhnya. Tangan pria itu merapikan poni Jayan yang terjatuh menutupi kening. "Sedikit lebih tua darimu tentunya."

Darahnya berdesir mendengar suara rendah mengalun lembut. Lelaki itu mengerjap ketika Sing mengusap pelan garis wajahnya, terus turun hingga berhenti pada dagunya yang terbelah.

"Besok kita akan melihat dunia baru. Jangan tidur terlalu malam, Timo."

***

Rintik hujan jatuh bergantian menghantam mobil hitam yang berani melawan jalanan licin menanjak.

Seorang pria memainkan setir mobil dengan satu tangan. Beruntung aspal basah tak memakan korban. Mobil bernuansa klasik terus menanjak dengan kecepatan tepat.

Si pengemudi melirik lewat kaca yang menempel di plafon. Memeriksa keadaan seorang lelaki yang layaknya putri tidur masih setia bermimpi. Pria itu tersenyum kecil.

Mobil berhenti pelan di depan gerbang besar. Dia membuka mata ketika menyadari tak ada pergerakan.

Manik ambernya bergerak mengamati sekitar. Sing keluar dari mobil sambil membuka payung berwarna merah menyala.

Pria itu membuka pintu belakang, melindungi kepala Jayan dengan telapak tangan agar tidak terbentur saat keluar dari sana.

"Ini sekolahnya?"

Sing terkekeh melihat wajah takjub itu. Untuk seseorang yang baru pertama kali melihat dunia baru, reaksi Jayan sangat menghibur.

"Ini masih belum seberapa." Sing mengikis jarak keduanya. Pria itu merangkul Jayan dengan erat. Tidak membiarkan tetes hujan jatuh dari payung membasahi trench coat lelaki dalam dekapannya.

Gerbang tinggi dengan susunan batu kokoh dilewati keduanya dengan pasti. Suara arus sungai deras mendominasi.

Jembatan yang dilalui lumayan panjang. Satu-satunya akses keluar masuk sekolah itu memang indah.

Sing melirik Jayan yang mulutnya masih ternganga. Lelaki itu seperti buku yang terbuka. Mudah sekali dibaca segalanya.

Sungai Isar mengalir deras di bawah jembatan batu kokoh. Di ujung Kota München, berdiri sekolah megah layaknya kastil.

Kota ini tempat lahirnya seni, budaya yang kental, juga banyak bangunan antik menawan. Namun, setiap tempat punya cerita baik dan buruknya.

Napas keduanya menyatu dengan udara. Hujan membawa rasa dingin menyusup jaket tebal yang dikenakan.

Penjaga sekolah tidak ada di sana. Hanya ada kopi hitam panasnya yang mengepul naik. Jayan menyipitkan mata guna memperjelas sesuatu yang menarik perhatiannya.

"Apa Jayan boleh mengadopsi ini?"

Sing melihat dua anjing jenis Doberman dalam pelukan Jayan. Tubuh kedua anjing itu basah dan kotor. Kurus dan kedinginan seperti tidak punya harapan.

Pria itu mengangguk. Segera membawa Jayan kembali dalam dekapannya. "Aku akan memanggil Dokter hewan untuk memeriksa mereka."

Jayan tersenyum cerah. Sing sampai menunggu saat Jayan melepas jaketnya dan menutupi tubuh kecil kedua anjing itu.

Menyusuri koridor yang luas, sepatu keduanya beradu memecah keheningan. Sekolah ini seperti labirin. Terlihat tangga di atas sana saling menghubung dengan posisi yang membingungkan.

Sing menutup payung merah itu, melemparnya ke tempat sampah. Dengan jemari yang masih bertaut, Sing membawa Jayan menuju tempat tinggalnya.

Lelaki itu berbelok ke kiri, terlihat sebuah asrama dengan bangunan sedikit berjarak. Bangunan bergaya romantik, bersanding dengan dua tiang penyangga berukir rumit.

"Apa Jayan tidak tinggal di sana?" Jayan menunjuk sebuah bangunan asrama yang memang menarik perhatiannya. Lelaki itu ingin hidup mandiri di sana.

Sing menggeleng. Pria itu berjalan lebih dulu sambil tetap mempertahankan genggaman tangan mereka. Sampai ketika tiba pada suatu pekarangan rumah minimalis. Tetap dengan gaya romantik.

"Jayan tinggal di sini?"

Pria itu tersenyum. Sambil membuka pintu rumah, Sing menunduk untuk melepas sepatu Jayan. Menggantinya dengan sandal rumahan.

"Kita akan tinggal berdua di sini."















PERSONAE 𓆩ᥫ᭡𓆪













To be continued...

PersonaeWhere stories live. Discover now