6

673 88 23
                                    

Tungku perapian itu menyala. Suara gemercik kayu terbakar menjadi pengantar tidur. Biasanya disertai dengan tindihan lengan berat yang melilit pinggangnya.

Tapi sekarang, suara bising yang asing sampai pada pendengaran Jayan. Terpaksa kelopak matanya dibuka walau rasa kantuk masih menyerang.

Lelaki itu melirik ke sebelah. Sing tidak ada di sampingnya. Suhu tubuh Sing tidak tertinggal pada sprei yang kusut. Dingin seperti sudah ditinggalkan lama.

Jayan tanpa memakai alas kaki berjalan menuju suara itu. Terlihat di sana, punggung seseorang tengah sibuk. Entah apa yang dilakukannya, Jayan tak bisa melihat jelas.

"Apa aku membangunkanmu?"

Jayan terlonjak. Suara berat Sing tanpa permisi membuat kantuknya hilang. Pria itu tersenyum kecil melihat Jayan dengan wajah setengah sadar.

"Sing sedang apa?"

Pria itu bergeser ke samping, memperlihatkan sebuah koper yang sejak tadi terhalang tubuhnya. "Berkemas." Sing menutup kopernya. "ada sedikit pekerjaan di luar kota."

"Jayan akan sendirian?"

Sing menyadari suramnya suara itu, mengajak Jayan agar duduk bersamanya di sofa single. Jayan sudah terbiasa duduk di pangkuan Sing.

"Hanya seminggu, Timo."

Seminggu itu tidak sebentar. Namun kepalanya tiba-tiba memunculkan ide. Lelaki itu langsung mendongak menatap Sing. "Apa Jayan boleh mengajak Morgen ke sini?"

Diamnya Sing membuat Jayan merapatkan bibir. "Atau Jayan menginap di sana?" Lelaki itu berusaha menawar.

"Jangan menginap dengan sembarang orang. Bogy dan Bigy akan menjagamu di sini." Sing melirik sebentar dua anjing yang sedang pura-pura tidur.

Jayan menghembuskan napas kasar. Bahunya merosot lesu. Melihat itu, Sing mengusap pelan punggung tangan Jayan. "Aku sudah berjanji untuk menjagamu di sini. Ayah dan Ibumu sudah mempercayaiku."

Itu benar. Namun ekspresi sedih Jayan masih belum berubah. Sing menatap bibir Jayan yang menekuk dalam.

"Ingin melihat sesuatu?"

Pandangan mereka bertemu. Jayan diam saja saat tubuhnya digendong. Pria itu membawanya berdiri ke hadapan jendela.

Sing mengambil suatu benda yang terlihat asing di mata Jayan. Pria itu berdiri di belakangnya, mengungkung tubuh yang lebih rendah.

Padahal Jayan masuk jajaran lelaki tinggi sempurna. Seseorang yang terbiasa melenturkan seluruh sendinya pada tarian balet. Tubuhnya atletis dan ideal. Pinggang kecilnya membuat lelaki itu terlihat ramping.

Namun di dalam kukungan Sing, tubuh Jayan langsung tersembunyi. Pria berumur matang itu punya tinggi badan di atas wajar. Tak lupa ototnya yang besar, semakin menambah tajam auranya.

Sing membawa jemari Jayan merayapi benda itu. Dingin. Logam dingin menusuk walau hanya dua jarinya yang menyentuh.

"Ini apa, Sing?"

Sing menunduk, membawa dagunya bersinggah di bahu. "Pistol." Pria itu menoleh, hidung bangirnya bersentuhan langsung dengan rahang Jayan. "apa ada seseorang yang kau benci?"

Jayan diam. Sing bisa melihat wajah itu dari pantulan jendela yang tidak terurai tirainya. Lelaki itu seperti sedang menggali kenangan lamanya.

"Jayan tidak tahu." Dia menggeleng kecil. "kenapa Sing bertanya seperti itu?"

Bukannya menjawab, Sing malah membawa telapak tangan Jayan memegang penuh kendali pistol semi otomatis. Bahkan jari telunjuk Jayan sudah masuk ke dalam pengaman pelatuk.

PersonaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang