7

671 91 33
                                    


⚠️Part mengandung keintiman hubungan sesama lelaki. Harap tinggalkan lapak ini jika mulai merasa tidak nyaman!⚠️



























Dia berada di barisan depan. Paling depan dengan berani menghadap penciptanya. Pria itu merasa suci jika duduk di sini. Mendengarkan beberapa kalimat rohani dari seorang Pastor di depan sana.

Di barisan belakang duduk berdesakkan jemaat. Padahal bangku panjang itu terisi dirinya seorang. Seperti mereka punya radar menghindari orang yang penuh dosa.

"Amen."

Dari ekor mata, seorang pria dengan kepala plontos ikut duduk di sebelah. Tato ranting berduri mengeliling leher terlihat mencolok dengan kulit putihnya.

"Ada satu korban, Tuan." Pria itu berbicara dengan pandangan lurus ke depan. Seolah sedang khidmat mendengarkan kalimat penyucian jiwa raga.

Gozalo melirik tongkat di genggaman lawan bicaranya. Terlihat mengambang di udara. "Club balet—"

Tongkatnya turun memijak lantai batu hingga menggema. Terlihat beberapa pasang mata melirik sebentar, lalu kembali menoleh ke depan.

Tercekat napas merasakan aura yang lebih kelam dari biasanya. Gozalo meremat kuat ujung bangku berusaha tidak ketahuan gugup. "Bukan dia, Tuan."

Sing menoleh, mengetahui getaran suara ketakutan di sampingnya. "Mereka suka sekali mencari keributan, ya?"

Kepala Gozalo mengangguk kaku. Dia baru bisa bernapas ketika pria itu bangkit berdiri. Gema sepatunya terdengar yakin meninggalkan tempat. Tongkat hitam di tangan kanan terus terdengar ketukannya.

Rasa sesak dan tidak nyaman akan muncul jika memaksa melihatnya. Pintu gereja terbuka, menampilkan beberapa pria tinggi berbaris menunggu kedatangannya.

Tuxedo hitam mencetak jelas tubuh tegap itu. Tersampir di bahunya long coat yang terayun ditiup angin. Pria itu merasa cocok berpakaian serba hitam setelah mendengar kabar barusan.

Dia sudah mengira pasti akan ada kekacauan jika tes mingguan dipercepat. Tidak mungkin Sing membiarkan lelaki bermata amber itu tak bisa menyantap hidangan di sana. Maka dari itu, ia berani mengambil resiko.

Pengawal lain menyalakan cerutu di tengah gerimis. Sing membuang asapnya sambil memejamkan mata.

"Siapkan pesawat menuju Tokyo." Pria itu membasahi bibirnya yang kering. "semua pekerjaan harus selesai minggu ini."

Enam pria bertubuh tegap mengangguk patuh. Perintah mutlak tuannya seperti jalan hidup mereka selanjutnya.

***

Jayan duduk patuh ketika Morgen menyuruhnya untuk menunggu sebentar. Lelaki itu tidak tahu-menahu apa yang terjadi.

Sampai ketika beberapa pihak berwajib melewatinya sambil membawa kantong mayat. Lelaki itu langsung bangkit berdiri, pemandangan yang tak begitu asing di matanya.

"Jayan!" Tepukan di bahunya membuat Jayan terlonjak. Dia seperti tertarik dari mimpi buruk.

"Ada apa? Wajahmu pucat sekali." Gelengan kecil Jayan membuat Morgen menggengam tangannya.

Jayan mengikuti langkah kecil Morgen. Lelaki itu membawanya ke arah aula. Sudah ramai siswa Mutu Ombrogio mengelilingi papan pengumuman. Ternyata nilai tes cepat keluar hasilnya.

Semua tingkat kelas serentak mengadakan tes mingguan. Entah kenapa lebih cepat dari biasanya, hingga beberapa siswa diserang rasa panik.

Dia mencoba mencari letak namanya di papan itu. Sampai ketika Morgen menepuk pundaknya kuat.

PersonaeWhere stories live. Discover now