46 MASA LALU SANG PERAMPAS 1

174 24 14
                                    

TERDAPAT PLOT KEKERASAN DAN KATA-KATA KASAR
HARAP BIJAK DALAM MEMBACA
.
.

Reiver meringkuk di lantai, otot-otot punggungnya menegang demi menahan cambukan dari lelaki yang baru saja tidur dengan wanita yang telah melahirkannya.

Darah merembes di kaos putih yang Reiver kenakan, beberapa bahkan mulai menetes di lantai kotor gubuk rumahnya, karena luka-luka yang terbuka akibat sabetan ikat pinggang yang terbuat dari kulit hewan itu.

Ibu Reiver cekikikan melihat siksaan yang putranya terima. Ah! Hampir saja lupa. Sebenarnya Zora tidak pernah menganggap Reiver putranya.

Hampir satu jam lelaki itu mencambuki Reiver, dan kesengsaraan itu berhenti karena lelaki pelanggan Zora mendapat telepon dari istri keduanya.

Setelah pelanggan Zora pergi, Reiver pun bangun dan duduk di lantai, atau lebih tepatnya di atas ceceran darahnya sendiri. Reiver tarik nafas dalam-dalam untuk menetralisir rasa sakit dan perih yang dia rasakan.

Tidak ada sedikitpun air mata yang menetes, meski usia Reiver baru menginjak tujuh tahun. Dia terlalu terbiasa dipukuli dan menerima segela macam bentuk kekerasan, dari hampir setiap orang yang dia temui, sejak balita. Karena itu bagi Reiver siksaan adalah menu makanan sehari-hari.

Setelah beberapa saat menormalkan nafasnya, Reiver pun mulai bisa menggerakkan rahangnya-yang sempat menegang dan mengatup rapat demi menahan sakit-untuk angkat bicara.

"Lelaki itu menamparmu, karena itu aku memukulnya dari belakang untuk melindungimu. Kenapa kau malah marah dan membiarkan dia mencambukku?" Tanya Reiver, sementara Zora langsung nyalang menatapnya.

"Hei bajingan! Sudah syukur aku melahirkan dan membiarkanmu tinggal disini. Jika tidak, kau sudah diculik dan organ tubuhmu dijual oleh para bajingan di luar sana. Jika aku sedang bekerja jangan ikut campur! Lebih baik kau bongkar tong sampah dan cari makanan. Jangan harap aku akan memberimu makan. Sialan! Brengsek! Bisa-bisanya panti asuhan itu bangkrut dan mengembalikan si brengsek ini kepadaku!" Jawab sarkas Zora yang juga menggerutu, sembari meludahi Reiver.

Zora segera beranjak kembali ke kamarnya yang lebih kacau dari pada kapal pecah. Dia kembali berias dan memakai concealer dengan tebal demi menutupi lebam di pipinya.

Reiver lap saliva ibunya yang tadi mengenai wajahnya. Dia datangi kamar ibunya. Tapi Zora-yang melihat bayangan Reiver di cermin-segera melempar Reiver dengan sepatu high heels merah yang dia kenakan. Sontak saja sepatu itu membuat dahi Reiver terluka dan lagi-lagi darah Reiver harus menetes. Namun Reiver hanya diam saja, mengambil kembali sepatunya ibu dan meletakkan sepatu itu di ambang pintu kamar.

"Sudah kubilang jangan masuk ke kamarku!" Teriak Zora seketika. "Nanti malam kau harus tidur di luar! Itu hukumanmu!" Sambung Zora, namun Reiver abaikan. Sebab tidur di teras gubuk, bukan hal baru baginya.

"Kenapa kau tidak bekerja yang lain saja? Maksudku seperti mencuci pakaian orang atau menjadi tukang cuci piring di restoran? Aku akan bantu. Bukankah kita bisa dapat makan gratis. Ku dengar kalau ada makanan sisa pelanggan, boleh di ambil. Aku tidak masalah makan makanan sisa pelanggan di restoran, kau bisa makan makanan gratisnya."

Ucapan Reiver seketika membuat amarah Zora-yang mulai surut-menjadi meledak, lebih dari sebelumnya.

Zora pun segera berdiri mengambil sapu yang tiangnya sudah patah-karena beberapa hari yang lalu dia pakai untuk memukul Reiver-lalu kembali memukuli Reiver dengan sekuat tenaga.

SECOND LIFEWhere stories live. Discover now