53 JANGAN MEMUTUS IKATAN KITA

166 27 16
                                    

Taman bunga di dekat paviliun itu begitu indah, ada begitu banyak jenis bunga berwarna-warni dan bahkan ada air mancur yang sangat artistik. Namun semua keindahan itu sama sekali tidak bisa Reiver lihat.

Setelah dia yakin tidak ada siapapun lagi—kecuali Naren—langkah Reiver berhenti.

Reiver tatap Shira lekat yang juga memandangnya balik. Wajah Reiver masih pucat dan jantungnya berdetak begitu cepat. Namun ini semua berbanding terbalik dengan datarnya ekspresi Reiver.

"Kenapa kau tidak marah?" Tanya Reiver dengan suara berat nan dalam.

"Kenapa aku harus marah?" Tanya Shira balik yang membuat kelopak mata Reiver melebar beberapa detik. Lalu kedua alis lelaki ini bertaut, mengikuti emosinya yang memuncak.

"Kau tidak marah?! Apa kau tidak dengar kata Bartholia? Apa kau tidak...." Tenggorokan Reiver tercekat saat hendak meneruskan ucapannya. Reiver tidak berani menyuarakan satu kata itu. Tidak! Bukan itu! Reiver tidak berani pada jawaban yang akan di timbulkan dari satu kata itu.

"Tidak cemburu?" Sahut Shira menyambung ucapan tunangannya. Dan Reiver langsung tertunduk beberapa detik, tapi kemudian dia tajam menatap Shira.

"Iya! Seharusnya kau cemburu. Tunanganmu diajak tidur dan menghabiskan waktu bersama wanita lain tepat di depanmu. Tapi kenapa kau baik-baik saja? Seakan itu tidak melukaimu."

Shira menghela nafas, karena inilah dia sejak awal tidak mau punya hubungan resmi dengan lelaki manapun. Shira sadar tentang dirinya yang minim emosi, tapi disisi lain, Shira juga sadar kalau yang terbaik adalah dia mulai menjalin hubungan resmi dengan satu pria. Terutama pria kuat dan berdaya seperti Reiver.

"Ceritakan padaku bagaimana hubunganmu dengan Bartholia di masa lalu."

"Awal mula ayahnya yang pelangganku. Ayahnya suka barang antik dan aku pemasok barang antik yang dia inginkan. Lalu tiba-tiba ayahnya meninggal dunia. Padahal selama ini hanya ayahnya yang menyayangi Bartholia. Pernikahan politik dengan ayah Bartholia, membuat ibu kandung Bartholia begitu membenci Bartholia. Karena itu dia tidak pernah dekat dengan ibunya."

"Karena kisah kalian mirip kau jadi bersimpati kepadanya?"

"Ya. Terlebih aku melihat dia harus berjuang merebut kekuasaan dari ibunya yang seman-mena. Aku tidak terlibat dalam konflik bangsawan, hanya saja malam itu Bartholia memesan suatu barang yang selama ini diingkan ayahnya. Aku datang mengantarkan barang itu, disitulah aku melihat dia menangis dan dia pun tanpa sadar menceritakan semuanya. Di saat itulah aku tahu segalanya. Semenjak itu aku sering datang ke mansionnya, jika dia sedang kacau dan aku menghiburnya. Benar...aku...mengelus...kepalanya...benar....dia...tidur...dipahaku....hanya saja Hrom..." Ujar Reiver dengan lidah yang kelu.

"Aku tahu Reiver. Kau hanya bersimpati dan menghormatinya. Sebab meskipun diliputi duka, Bartholia tetap berusaha tegar."

"Ya...aku senang kau Einer Alitheia, yang bisa mengetahui isi hatiku. Tapi walaupun begitu....kenapa kau tidak marah? Apa kau....sebenarnya tidak....menganggap ku?"

"Kau tidak pernah berpacaran dengan Bartholia kan?"

"Tentu saja tidak. Kau wanita pertamaku dan aku yakin juga akan jadi yang terakhir."

"Apa kau mencintai Bartholia?"

"Tidak, yang aku cintai itu kau."

"Kalau aku pemenangnya, kenapa aku harus marah? Kenapa aku harus cemburu? Sejak tadi aku tenang-tenang saja karena aku tahu, di hatimu hanya ada aku. Cinta Bartholia kepadamu hanya sepihak. Aku tidak mungkin melarang wanita lain untuk menyukaimu. Itu mustahil. Bagiku yang terpenting selama kita saling menjaga kesetiaan dan komitmen dalam hubungan ini, maka tidak perlu ada masalah apapun. Selain itu, apakah kau akan menemui Bartholia selama kita disini? Akan kah kau mengulang aktivitas lama kalian lagi?"

SECOND LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang