Chapter 6

105 14 0
                                    

Aku merasakan sesuatu yang sangat terang menyinari wajahku. Saat membuka mata, memang sudah pagi. Greyson sudah lenyap dari ranjangnya. Sepertinya ia sedang membantu ibu membuat sarapan.

Aku beranjak dari kasur dan mulai merapikan tempat tidur. Setelah keluar dari kamar, aku bergegas untuk mandi dan sarapan.

**

"Yum, pancakes," gumamku saat sedang melahapnya. Suasana hari Minggu itu sangat sunyi, saat aku, Greyson, ibu, dan ayah sarapan bersama. Ayah diam tak berkutik memandangiku tanpa ekspresi, yang tak lama mulai memotong pancake nya dengan pisau dan garpu.

"I heard you screaming last night," ungkap ayah.

'Kumohon jangan marah, kumohon jangan marah' pikirku seraya meremas jins Greyson yang berada di sebelahku dengan spontan, tanpa sepengetahuan siapapun. Greyson tak merespon, ia tahu aku sedang ketakutan. Aku menelan ludah dan mengepal tanganku dengan gugup. "Iya ayah, aku bermimpi buruk," jawabku bergemetar. Semua mata memandang ke arahku. Greyson memberikan tatapan dan menggerakkan mulutnya melafalkan "it's okay" dengan pelan.

"Coba, aku ingin dengar seperti apa mimpimu," ujar ayah. Kali ini jantungku berdegup lebih kencang. Haruskah aku menceritakannya? Jelas-jelas aku menangis tak lain karena ayah yang menjadi bengis. Akankah ayah marah jika aku memberitahunya?

Glek

Aku akan menceritakan dari awal. Lebih baik aku menurutinya dari pada kena marah. Lagi.

**

Seusai bercerita, ibu dan ayah saling bertatapan. Greyson memasang ekspresi datar, karena ia sudah tau ceritanya.

"Hmm.."

Ayah mengelap mulutnya dengan serbet, lalu pergi begitu saja tanpa merespon sedikitpun. Not again...

Seisi ruang makan menjadi hening dalam sekejap. Ibu memulai percakapan kali ini. "Sabar Winter, he's not in the mood right now," ujar ibu dengan halus. "You know what? Aku sudah lelah harus bersabar menghadapinya yang selalu "not in the mood" kepadaku. Apa salahku? I mean, yang benar saja?" aku yang tak tahan itu meninggalkan seperempat pancake yang tersisa di piringku dan lari ke kamar. Aku memeluk bantalku dan menangis. Ya, aku cengeng. Aku tidak kuat menghadapi semua ini.

**

"Winter sayang, ibu tau perasaanmu, sabar ya nak. Makan pancake mu dulu sweetheart," ujar ibu pelan. Mom Lisa memang yang terbaik.

Ia menyodorkanku pancake ku. Di belakangnya terdapat Greyson ikut menghampiriku. Melihatku menangis, ibu ikut meneteskan air mata. Entah mengapa, hatiku lebih terenyuh melihat ibuku menangis daripada sakitnya dimarahi ayah. "Ibu, jangan nangis...," ujarku yang hanya bisa mengusap punggungnya. Greyson memeluk ibu dan menenangkannya. "Ibu suapi ya," ujar ibu sambil menyeka air matanya. Aku mengangguk memenuhi permintaannya.

"Bu biar aku saja sendiri yang makan," ujarku. Ia mengangguk dan tersenyum. Greyson dan ibu tersenyum melihatku makan dengan lahap. Tak lama, setelah selesai, ibu keluar dan membawa piringku. Aku terdiam di kasur, hanya ada Greyson yang menatapku.

"Don't cry my little sister, let's just take a walk with me with whiskey, ayo," ujar Greyson sambil tersenyum sambil menyisiri rambut pirangku ke belakang telingaku. Kurasa itu adalah ide bagus untuk menenangkanku sejenak.

**

"Whiskey!! Hahaha," seruku melihat tingkah Whiskey yang lucu ketika kami berjalan. Angin sepoi yang sejuk dan bunga-bunga yang bermekaran menghiasi musim semi ini.

Saat sedang jalan bersama Greyson dan Whiskey, aku merasakan tangan menggenggam tanganku. Yang tak lain adalah tangan Greyson.

"Ummm... kak," ujarku yang tak nyaman itu. Kami seperti orang yang berpacaran.

"Astaga, sorry Winter! Haha, aku bersumpah, itu sangat spontan. Sangat sangat sangat sangat diluar kesadaran," ujar Greyson sambil menahan tawa. Pipinya yang tak lagi tembem itu mulai memerah seperti buah plum. "Hahaha, baiklah, aku tahu itu," jawabku sambil memukul main pundaknya.

**

"Jadi, ini destinasi kita?" tanyaku. Aku, Greyson, dan Whiskey duduk di tepi danau yang sangat jernih. Bahkan kau dapat melihat ikan-ikan yang berenang di sana. Aku mencabuti rerumputan.

Kami hanya terdiam di sana. Mulut kami terkunci sama sekali, hanya menikmati pemandangan di sekitar danau itu. Namun tiba-tiba aku teringat hal yang tadi. Dan di luar kendali, aku meneteskan air mata ke air danau yang jernih itu, menggemparkan ikan-ikan yang sedang berkerumun di tempat mereka berada.

"Grey, apakah kau akan bosan jika aku bercerita tentang kesedihanku terhadap sikap ayah?" tanyaku dengan mata yang mulai bengkak itu. Pupil mata Greyson membesar melihatku lagi lagi menangis. Ia merangkulku dengan erat.

"Aku sama sekali tak keberatan, Winter. Aku akan selalu mendengarmu bercerita, bahkan cerita yang sama, berulang-ulang sekali pun. Because I only have you as a friend. Aku tidak pernah punya teman lagi, dari kecil aku homeschooling. I don't know how it feels like to have best friends to talk to, unless it's you. Hanya kau sahabatku, sekaligus adikku. Aku tak tahu lagi kalau tak ada kau nasibku akan bagaimana," jawab Greyson panjang lebar. Ia terus menenangkanku. Mengurungkan niat mengeluh tentang ayah, aku beralih pada topik lain.

"Kak... mengapa homeschooling? Mengapa kau tidak ambil sekolah pada umumnya sepertiku?" tanyaku seraya melempar kerikil ke danau. Greyson terlihat berpikir panjang. "Hmm... entahlah" jawabnya singkat. Aku bingung mengapa jawaban singkat itu perlu berpikir panjang untuk diucapkan. Mungkin ibu yang mengusulkannya untuk homeschooling.

Aku kembali menunduk.

"Greyson, sebenarnya selama ini... ayah menganggapku apa? Aku sayang sekali sama ayah tapi mengapa hatinya sangat keras dan dingin? Apa yang harus kulakukan untuk membuatnya senang, sekalipun hanya tersenyum. Apakah karena aku jelek? Apakah karena aku tak punya bakat? Apa aku pernah melakukan sesuatu yang tak kusadari, dan membuatnya benar-benar kecewa? Apa aku menyusahkan? Aku benar-benar tak mengerti salahku apa," jelasku. Tiba-tiba Whiskey menghampiriku dan menggesekkan kepalanya ke sikutku. Ia sedang manja.

"Winter, kau hanya harus menjadi dirimu sendiri. Jangan pedulikan ayah, ia memang orang yang berhati dingin. Ayah dan ibu selalu bertengkar, dan kurasa tak ada hal yang dapat memberhentikannya selain... bercerai. Dan kau tahu? Kau salah besar. Kau sangat jauh dari kata jelek, dan kau pasti memiliki bakat tersembunyi selama ini. Kalau kau punya salah pun, pasti ia sudah menegurmu sejak lama. Tolong jangan pernah berpikir kau akan meninggalkanku atau apa itu. Tolong buang jauh-jauh pikiran itu," jawab Greyson dengan suara yang sangat pelan. Mata cokelat terangnya menatap dalam-dalam mataku. Sepertinya ia benar-benar tak menginginkanku pergi.

"Kak... mengapa kau lebih memilih mereka bercerai? Sebenarnya apa yang membuat mereka bertengkar? Aku tak suka menjadi orang yang broken home. Selama ini, aku tak tahu sosok seorang ayah sebenarnya seperti apa, karena aku tak pernah diperlakukan baik oleh ayahku. Kalau ayah dan ibu sampai bercerai, duniaku hancur. Keluarga adalah segalanya bagiku."

Dear, Brother.. [Greyson Chance Story]Where stories live. Discover now