Chapter 16

63 5 0
                                    

Winter's pov

Aku mengedip-ngedipkan kedua mataku. Semuanya terlihat remang-remang. Aku mendengar suara hujan deras dari tempatku berada. Aku pun segera berdiri. Ternyata aku sedang berada di dalam tendaku. Aku keluar dari dalam sana.

"Greyson!" aku berteriak. Ia sedang berdiri di depan tendaku tanpa menggunakan payung. Ada ibu dan ayah sedang berdiri di depan mobil kami, dengan mobil diparkirkan di depan tendaku.

"Winter," gumam Greyson lemas. "A...ada apa Grey?" aku bertanya dengan khawatir. Kahlia, Kendyl, Brianna, dan James semua memerhatikan ke arah kami. Greyson menatap mataku.

"Winter, apa kau sudah sembuh?" tanyanya. Hujan deras ini semakin sulit untuk membuatku melihat wajahnya. "Ya, Grey. Aku sudah bangun, lihat kan?" ujarku gembira.
"Baiklah. Sekarang, waktunya untuk pulang Winter. Aku akan sangat merindukanmu," ujarnya. Aku tak bisa memastikan, tapi kemudian ia tersenyum lembut. Namun kini matanya memerah. Apa ia menangis? Sangat sulit ditebak. Aku tak bisa melihat yang mana air matanya dan yang mana air hujan.

"G...grey, apa maksudmu? Aku akan selalu bersamamu, Grey! Kau ingat kan tragedi itu, saat aku terluka disaat aku main sepeda. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu Grey! Aku teman terbaikmu!" kini aku yang menangis. Ketika akan berbicara, Greyson memelukku erat. "Waktunya sudah habis, Winter. Kini saatnya kau mengetahui kebenaran. Kau harus pulang Winter!" ia memohon. "Grey, tapi... Apa maksudmu? Rumahku itu rumahmu juga! Kita seharusnya pulang bersama-sama dengan ibu dan ayah!" suaraku membesar.

Kemudian, sesosok wanita menggenggam tanganku lembut. "Ayo pulang, nak," ujarnya. Aku mendorongnya. "Aku tidak mengenalmu!" bentakku. Aku kembali menggenggam kedua tangan Greyson. "Winter. Aku mencintaimu. Aku tak pernah memiliki keberanian untuk mengatakannya, tapi aku sangat mencintaimu. Tolong jaga dirimu baik-baik," Greyson mengecup keningku. Apa maksudnya ini?! Aku tak mengerti sama sekali!

Kemudian, kepalaku terasa sangat pusing. Greyson berjalan gontai ke arah mobil.

"GREYSON!!!"

**

"Winter, ada apa?!" ujar sesosok laki-laki. Aku merasakan bekas air mata di kedua pipiku. "Winter, what's wrong?" kemudian ia memberhentikan aktivitasnya yang aku tak ketahui itu. Aku merasakan selembar handuk dengan air dingin. Aku segera mengambilnya. "Kompres?"

Aku membenarkan penglihatanku. Ternyata Greyson.

"Grey!" aku memeluknya sangat erat. Ternyata daritadi ia sedang mengompresku. Kami berdua sedang berada di dalam tenda. Aku mengenali tenda ini. Sepertinya ini tenda Greyson.

"Grey, aku mimpi buruk," gumamku lemas. Ia mengusap-usap punggungku perlahan. "Sshh..shh.. it's okay, Winter. I'm here with you," ujarnya sambil tersenyum. "Kau mengompresku? Apa yang terjadi? " tanyaku. "Ya, Winter. Tadi kau pingsan akibat tenggelam di danau itu. Kau sempat terbangun setelah seseorang memberimu ... nafas buatan, kemudian kau kelelahan dan tertidur. Suhu tubuhmu sangat panas," jelasnya. Aku mengangguk tanda mengerti. Aku baru sadar tentang sesuatu.

"Hey, di mana Brianna? Kau tak mengajaknya ke sini?" tanyaku sambil tersenyum setengah hati. "Dia sedang istirahat," jawabnya. Aku mengangkat sebelah alisku. Aku terdiam dan menatap langit-langit. Greyson melanjutkan mengompresku. Semakin lama, wajahnya semakin pucat.

"Grey, sepertinya kau perlu istirahat, tak apa," ujarku. Lagi-lagi, Greyson menjejelkan obat yang sering kulihat selama ini. Aku semakin curiga. Kemudian, ia menekan-nekan dahinya. "Kau sebenarnya sakit apa, Grey?" tanyaku memperkeras nada suaraku. "Ah, tidak, hanya pusing," jawabnya santai.

**

Setelah lama, akhirnya panasku menurun. Aku bisa langsung mandi air hangat dan bersih-bersih. Ketika hendak keluar tenda, aku memeluknya.

"Grey, terima kasih telah menyelamatkanku dari danau itu. Kukira, kau benar-benar tidak peduli denganku semenjak-"

"Winter, I gotta tell you something. It's Hunter that saved you when you drowned, not me."

Aku terdiam dan melepaskan pelukanku. "Oh," gumamku.

"Bukankah Hunter sedang mandi? Seingatku begitu, kasihan sekali dia harus mandi lagi. Lalu, mengapa bukan kau saja?"

"A-aku,"

Lalu, aku teringat bahwa saat itu, Greyson sedang sibuk berbincang-bincang dengan Brianna di dekat danau.

"Kau apa? Kau sibuk berpacaran dengan Bri?! Grey, kau tidak pantas kusebut kakak lagi! Kau bahkan tidak peduli dengan nyawaku! Kau hanya mempedulikan perempuan bodoh itu!" bentakku. Kini, amarah Greyson meledak.

"Baik! Dan, Brianna bukan gadis bodoh! Dia sangat manis, dia lebih baik daripada kau! Satu lagi, terserah kau mau sebut apa aku sekarang, tapi percaya atau tidak, aku bukanlah kakak kandungmu!" ia membentakku dengan keras. Aku mati rasa. Mulutku tak bisa bergerak. Pita suaraku tak bisa mengeluarkan suara. Tanganku bergetar.

Tak terasa, bulir air mata menetes dari mata kiriku. Aku sesak nafas.

"Winter, a..aku tak bermaksud-"

"Ya Grey, baiklah. Setelah ayah, kini kau, kini aku tinggal menunggu ibu untuk mengakui aku bukan anaknya lagi untuk aku bisa keluar dari keluarga ini, ya, impianku sejak kecil!"

Aku melangkah dan keluar dari tenda. Tangisku meledak. Brianna kemudian terkaget dan melihatku. Ia bergegas mendatangiku.

"Winter! Kau kenapa?" tanyanya sembari memegang pundakku.

"Tanya saja pacarmu," jawabku acuh. Aku segera berlari ke tenda, meninggalkan Brianna.

Aku menyiapkan peralatan mandiku dan segera mandi. Aku ingin cepat-cepat melupakan hal yang baru saja terjadi dan mengurung diri di kamar mandi.

**

"Kendyl," bisikku malam itu, ketika kami hendak tidur. Brianna dan Kahlia sedang berada di luar. Saat itu, aku tidak membutuhkan siapa pun selain Kendyl, pendengar terbaikku.

"Kendyl, mengapa Greyson menjadi seperti itu semenjak ada Brianna? A... apakah Brianna mengubah sikap Greyson? Apa ada yang menghasutnya? Dulu, aku sempat berpikir bahwa ia adalah kakak terbaikku, namun, sekarang ia bahkan bilang bahwa aku bukanlah adik kandungnya."

Aku menguburkan kepalaku di lekukan lehernya. Ia dengan perlahan mengusap-usap kepalaku.

"Winter, aku yakin kakakmu itu hanya bergurau, beberapa orang mengatakan hal terburuk ketika mereka sedang kesal. Soal Brianna, kurasa biarkan ia saja Winter. Biarkan mereka, kita lihat kedepannya apakah Greyson akan sadar atau tidak. Tenang Winter, kau masih punya aku," jawabnya dengan lembut.

"Tapi.. kau akan pindah ke New York, siapa yang akan menjadi sahabatku, Ken? Siapa yang akan menjadi pendengar setiaku?"

"Ah ya, aku lupa memberimu sesuatu."

Kendyl merogoh sakunya dan mencoba meraih sesuatu.

"Ini, kau tidak akan pernah sendirian Winter. Aku akan selalu bersamamu."

Ia memberikanku kalung silver dengan bandul hati yang berisi fotoku dengannya. Kemudian, aku menangis lagi mengingat bahwa yang dulu aku bisa berlari ke Kendyl di saat ada masalah, kini hanya ada kalung ini yang menemaniku.

"Kendyl, ini sangat indah, terima kasih," ujarku seraya mengenakannya di leherku. Kendyl mengangguk. Kemudian ia mengalungkan yang miliknya ke lehernya. Kemudian kami berbincang-bincang hingga mata sembabku terpejam erat.

Dear, Brother.. [Greyson Chance Story]Where stories live. Discover now