Chapter 7

141 12 3
                                    

Setelah lama di danau itu, kami memutuskan untuk pulang berhubung cuaca yang buruk, yang mengalihkan pertanyaanku tadi kepada Greyson. Dengan kecewa, aku terbangun bersama Whiskey.

Saat beranjak, Greyson menutup matanya sangat rapat sambil memegang dahinya pelan.

"Greyson, kau kenapa?!" tanyaku dengan khawatir. Aku membantunya berjalan karena ia terlihat kesusahan berjalan. "Sini kak, kutuntun," ujarku. "No no no, it's okay Winter. I can handle it myself," jawabnya. Akhirnya, ia membuka matanya.

**

"Kak, tadi itu kau kenapa?" tanyaku. "Aku memang begitu, setiap kali beranjak atau bangun dari duduk atau tidur, aku selalu mengalami buta sejenak dan pusing bukan main. Tapi itu hal yang biasa, tak perlu dikhawatirkan," jawabnya. Kali ini ia tersenyum ke arahku lalu menghembuskan napasnya.

Aku baru tahu bahwa ia seperti itu. Apa ini tanda-tanda dari suatu penyakit? Ah, tidak mungkin. Kasihan sekali Greyson harus seperti ini setiap kali bangun tidur setiap pagi. Aku tak bisa membayangkan kalau ia terjatuh saat tidak ada siapa-siapa yang membantu dan menuntunnya jalan. Tapi, aku tak pernah sama sekali mengalami hal ini. Mungkin Greyson kurang minum atau sedang tidak fokus.

Kami pun berjalan pulang.

**

"Hey, Winter!" tiba-tiba seseorang menghampiriku. Aku menyipitkan mataku agar orang itu terlihat jelas.Aku terbelalak. Jantungku mulai berdegup kencang dan pembicaraanku mulai ngawur dari topik yang sedang kubicarakan dengan Greyson. Hunter!

Dengan bersikap sok polos sebisa mungkin, aku membalasnya. "Ada apa, Hunter?" tanyaku. Angin yang mengamuk mulai membuat jambul gingernya menari-nari.

"Maukah kau main ke rumahku? Sebentar saja," ujarnya. Dengan jarak yang dekat, tampak freckles (bercak-bercak) di pipinya. Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Aku menengokkan kepalaku ke arah Greyson yang berada di belakangku. "Can I?" bujukku sambil tersenyum ala-ala bayi yang masih tak berdosa. Greyson memanyunkan bibirnya sambil cemberut. Aku tahu ia tidak mengizinkanku, tapi ekspresiku ampuh membuatnya setuju.

"Pshh.. alright alright, jangan terlalu lama ya, hari sudah mendung. Dan, Hunter, tolong jaga Winter, okay?" ujar Greyson. Hunter menegakkan badannya. "Yes sir!" jawabnya. Greyson memiringkan senyumnya dan pergi meninggalkanku dan Hunter. Kini di jalanan tinggal kami berdua saling tatap menatap dengan canggung.

"So?" ujarku mengusik keheningan yang semakin lama semakin terasa aneh. Hunter menggengam tanganku dan mengajakku ke rumahnya dengan antusias. Aku bisa merasakan kupu-kupu berterbangan di perutku.

Don't smile, Winter! Don't smile!

ujar benakku.

**

"So, here's my house," ujar Hunter. Interior rumahnya sangat indah. Lantainya berkayu dan semua dinding bernuansa krem dan putih disertai ranting-ranting pohon imitasi di dindingnya. "Wow, I'm impressed," gumamku. Ia mengajakku ke kamarnya. Sebenarnya, terasa aneh juga diajak ke kamar laki-laki saat pertama kalinya.

"Ini kamarku! Yeah," ujarnya. Aku mengangguk-ngangguk saja seperti orang idiot. Jujur, aku masih merasa malu dan canggung berada di sisinya walau aku dan dia cukup dekat. Tiba-tiba, mataku tertuju pada sebuah box bayi yang terletak di sudut ruangan di sebelah ranjang Hunter. Aku segera menghampirinya dan melihat isi box bayi itu. Terdapat bayi mungil di dalamnya. Aku tak bohong, ia terlihat persis seperti Hunter. Pipinya agak gembil dan terdapat satu lesung pipi di pipi kanannya. Persis seperti Hunter, tapi bayi ini sepertinya perempuan. Ia sangat cantik dan lucu!

"Itu adikku, namanya Lilliana Hayley Travis," ujar Hunter, melihatku yang penasaran dengan bayi itu. "She's, so cute," ujarku sambil mengelus pipinya.

Dear, Brother.. [Greyson Chance Story]Where stories live. Discover now