LGF (15) - Forgiven

8.7K 930 127
                                    

     Seharusnya tidak begini. Namun entah berapa lama waktu berlalu, rasanya kafe kecil ini sangat pas bagi Sisi untuk melarikan diri, menghindar dari segala kerunyaman hari ini. Letaknya tidak begitu jauh dari jalan raya, tetapi cukup tertutup oleh tirai bambu serta aneka tanaman hias yang diletakkan mengelilingi bangunan kedai.

     Pukul setengah sepuluh pagi, Sisi mengecek waktu di arlojinya sembari meluruhkan punggung pada sandaran kursi. Diaduknya sisa jus stroberi di gelas bening dengan embusan napas berat. Tatapannya hampa. Dan kemudian yang terlintas di benak adalah perdebatan panjangnya dengan Davian pagi tadi.

     Marah dan frustrasi, hal itulah yang tertangkap pada wajah serta tatapan cowok itu. Dan di lain pihak Sisi juga tidak bisa memungkiri jika perasaannya tidak mudah terhapus begitu saja. Bagaimana pun, Davian adalah satu-satunya lelaki yang sering menemani dirinya menghabiskan waktu bersama.

     Jujur saja, rasa perih itu ada ketika Sisi memutuskan untuk meninggalkannya. Tidak mudah melupakan semua kenangan yang pernah terukir pada kebersamaan mereka lebih dari setahun ini. Canda, tawa, rajuk, dan segala macam bentuk emosi pernah tercipta di sana. Lalu entah mengapa hal itu membuat segalanya menjadi rumit. Bahkan di saat Sisi mulai menemukan secercah kebahagiaan yang belum pernah didapatkannya, rasa itu kembali mengikat kebebasannya untuk menerima hati yang baru.

     Tenang, Si, itu cuma perasaan bersalah lo aja. Lo berhak bahagia sama orang lain, begitu batinnya menegur. Benar, pikir Sisi kemudian, tanggung jawab terhadap hubungannya yang baru mungkin lebih besar daripada itu. Ia harus tegas. Cukup sudah perasaannya selama ini terombang-ambing.

     Lalu kemudian ada bayangan Lintang yang kembali terlintas. Ah, jika dihitung, ini kesekian kalinya mereka berdebat hingga tidak saling bertegur sapa. Namun ini pertama kalinya persahabatan mereka diuji oleh permasalahan cinta, dan entah mengapa kelancangan sahabatnya itu terasa sulit sekali untuk dimaafkan.

     Sampai sekarang pikiran Sisi belum terbuka, otaknya belum mampu menerima bagaimana Lintang yang menurutnya adalah biang atas terjadinya masalah pagi ini. Di saat ia belum siap menghadapi, Lintang diam-diam menjalankan sebuah rencana yang justru menjerumuskan Sisi hingga harus menghadapi masalah yang lebih runyam dari perkiraannya. Di sinilah maaf itu sulit tercipta.

     Sisi mengembus napas gusar seraya mencondongkan badan, lalu menyeruput habis jusnya.

     "Nggak sekolah, Dek? Bolos, ya?"

     Sisi kontan mengangkat kepala dan mendapati seorang bapak-bapak di seberang mejanya tengah beranjak setelah menghabiskan menunya sendiri.

     "Anak-anak zaman sekarang, dikasih fasilitas bagus sama pendidikan gratis, sekolahnya malah ogah-ogahan, sampai bolos kayak gini," sambung si bapak menyinyir sambil beralih ke kasir pantri. Dia tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil mengeluarkan uang tunai dari dompetnya. "Coba kita zaman dulu ya, Bu.... Sampe banting tulang sendiri nyari duit buat sekolah."

     Jika mengikuti kedongkolan hatinya, ingin sekali rasanya Sisi membalas, terus, salah gue kalo lo sampe banting tulang? Salah temen-temen gue? Salah satpam sekolah gue? Akan tetapi ia sadar terhadap kesalahannya sendiri yang belum tentu dimengerti oleh orang lain. Terlebih, keterbatasan umur pun bisa membuatnya menjadi anak yang kurang ajar jika membalas nyinyiran bapak-bapak tersebut.

     Sisi memilih melemparkan tatapannya ke arah jalan raya, berusaha mengikhlaskan tatapan negatif orang-orang terhadapnya. Suara nyinyiran lelaki paruh baya tadi bukan hanya terdengar oleh dirinya dan juga pegawai kedai, tetapi juga para pengunjung yang refleks melemparkan pandangan ke arahnya.

Little GirlfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang