SATU

1.3K 70 12
                                    

"Setiap waktu yang kuhabiskan untuk menunggu,

teramat berharga bila pada akhirnya kau tak jua mengerti diriku."

***



Kuseruput lemon iced tea-ku hingga tandas. Aku paling tidak suka dibuat menunggu seperti ini. Janjinya sudah lewat dari setengah jam yang lalu. Tahu begini aku tak akan datang. Lebih baik di rumah, menyelesaikan revisi skripsi bab tiga yang terbengkalai sejak seminggu yang lalu.

Huh!

Orang ini memang selalu tak bisa tepat waktu. Tadi pagi dia bilang ada urusan penting yang ingin dibicarakannya denganku. Urusan penting apanya? Sekarang lihat, siapa yang punya urusan penting di sini!

Kalau setengah jam lagi dia tidak datang, lihat saja nanti!

Aku memesan minumanku yang kedua. Kali ini sengaja kupesan hot classic cocholate untuk menghilangkan stresku.

"Maaf, aku terlambat."

Kuangkat wajahku yang tertunduk. Seketika mataku menabrak sosok cowok yang sudah kutunggu sejak tiga puluh menit yang lalu. Matanya yang oval selalu berbinar jenaka, begitu pun siang ini. Sama sekali tak tampak rasa penyesalan di binarnya.

Huh, dia itu!

"Da?" panggilnya saat aku tak juga menyambut kedatangannya. "Kamu udah nunggu dari tadi ya? Duh, maaf-maaf."

Aku memalingkan wajahku yang masih cemberut. Kata maafnya membuatku semakin sebal. Dia sudah menghabiskan waktuku untuk menunggu sekian lama, eh, dia masih bisa bilang maaf dengan nada datar tanpa merasa bersalah begitu. Dipikirnya aku memang sudah terbiasa menunggu apa? Jadi dia bisa seenaknya membuatku menunggu lagi?

Ah, menunggu. Itulah yang kulakukan selama sepuluh tahun ini. Menunggunya menyatakan cinta, tapi sepertinya dia memang tak berniat menyatakannya. Kalian bisa bayangkan, sepuluh tahun tanpa status yang jelas. Sahabat? Ya, sepertinya memang hanya bersahabat, tapi kadang dia berlaku lebih dari sekadar sahabat. Pacar? Jelas bukan, karena dia tak pernah mengungkapkan perasaannya padaku.

"Hellooow...!"

Aku tergeragap saat dia melambaikan tangannya di mukaku. Segera aku terlempar ke alam sadar.

"Kok malah bengong?" tanyanya. Senyum itu menyambutku, sepasang lesung pipit yang menawan sungguh membuatku melupakan seluruh kekesalan yang kurasakan tadi dalam sekejap.

Otakku segera memerintahkan syaraf tersenyum untuk membalas senyumnya itu. Di saat bersamaan, pesananku datang. Jadi aku bisa terhindar dari malu dengan melemparkan senyuman itu untuk pramusaji yang mengantar minumanku. Kulihat dia juga memesan sesuatu sebelum sang pramusaji pergi.

"Ehm." Sebuah dehaman mengawali kalimat yang akan keluar dari mulutnya. "Aku memintamu ke sini untuk urusan pekerjaan sih, sebenarnya. Aku harus mewawancaraimu."

Kuhela napasku berat. Ya, dia memang bekerja pada salah satu koran harian terbesar di Jawa Timur, sebagai seorang reporter. Koran sekelas tempatnya bekerja untuk apa mewawancaraiku? Aku tidak pernah merasa melakukan sesuatu yang luar biasa sehingga layak untuk diwawancarai.

"Dhida Arhela, apakah anda keberatan jika saya melakukan sedikit interview mengenai novel pertama anda yang baru saja launching beberapa hari yang lalu?"

"Boleh," jawabku singkat. Oh, jadi ini yang dimaksudnya dengan "urusan penting" itu? Tunggu, novel pertama? Ah, tidak. Mana mungkin aku menceritakan proses kreatif tentang novel itu pada orang yang menjadi inspirasi tokoh utamanya?

"Da?"

"Eh, apa?"

Dia mengembuskan napasnya. Sepertinya dia kesal denganku yang mudah bengong siang ini. Akhirnya dia meletakkan secarik kertas yang kemungkinan berisi pertanyaan-pertanyaan yang sudah disusunnya untukku di meja, lalu mendorong kertas itu hingga ke hadapanku.

Aku meraihnya. Benar, kan. Dia sudah menyusun pertanyaan dengan demikian detilnya.

"Sepertinya kamu sedang bad mood sekarang ini. Simpan saja kertas itu sampai kamu siap menjawab setiap pertanyaannya. Satu hal yang ingin aku dengar sekarang, saat ini juga."

Kusesap cokelat panasku yang mulai kehilangan uap.

"Novel ini tentang 'kita', ya?"

Wajahku seketika terangkat saat mendengar pertanyaannya. Kuletakkan cangkirku di atas meja kembali. Aku tak sanggup menjawabnya.

Sorot matanya berubah sendu. Dia berharap aku menjawabnya?

"Kamu udah baca?" tanyaku akhirnya.

Dia tertawa. "Belum sih, tapi aku membaca satu kalimat yang nggak asing di telingaku pada blurb-nya."

"Yang mana?" pancingku.

"Eng... yang ini: Kalau ada seorang cewek yang rela menutup mata dan hanya membuka hatinya untukku, aku pasti akan melepaskan masa jombloku ini untuk mencintainya."

"Menurutmu kamu pernah mendengarnya?"

Dia menggeleng.

Kukerutkan keningku dalam.

"Akulah yang mengucapkan kalimat itu. Pada seorang cewek yang berusaha mencari definisi cinta. Aku ingat setiap detil saat aku mengucapkannya. Di sebuah kolam renang umum, dengan latar belakang lagu milik Ungu seperti sekarang ini."

Deg.

Suara Pasha 'Ungu' mengalunkan lagu "Tercipta Untukku". Lagu yang sama dengan saat dia mengucapkan kalimat yang kucomot begitu saja dan kujadikan blurb novelku.

"Kamu ingin mengungkapkan sesuatu padaku dalam novelmu?" tanyanya lagi.

Angin berdesir membelai rambut panjangku yang tergerai. Begitu pula di dalam hatiku. Ramai oleh desiran seperti saat pertama kali kurasakan perasaan ini.



SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now