ENAM BELAS

221 24 0
                                    

"Dan memaafkan, adalah cara ampuh untuk melupakan."

***




Kali ini kami duduk-duduk di taman depan kos. Tamuku pagi ini cukup mengejutkan. Mbak Asti, dengan kantung mata tebal menggantung. Matanya tampak berkabut dan wajahnya terlihat sendu.

"Apa maksud Mbak dengan menemuinya sekali lagi?"

Dia menunduk. Matanya menekuri sepatu berhak rendah yang dikenakannya saat ini. "Petra masuk rumah sakit sejak kalian kabur semalam. Dan sampai saat ini dia belum sadar."

"Ma-masuk rumah sakit?" tanyaku terbata. "Bagaimana mungkin, Mbak? Menurutku, pukulan Jiro kemarin masih di batas kewajaran."

"Ini bukan murni karena pukulan Jiro, tapi ya, mungkin itu bisa menjadi penyebabnya."

Kudengarkan penjelasannya tanpa menyela.

"Sejak kecil, tubuh Petra sudah ringkih. Lambungnya selalu bermasalah, beberapa tahun lalu dia juga mengalami peradangan pada empedunya. Dia nggak pernah menceritakannya padamu?"

Aku menggeleng. Tentu saja, aku bahkan tak pernah peduli dengannya saat kami pacaran dulu. Mana pernah aku tahu hal-hal seperti itu.

"Kemarin, dia langsung pingsan saat ingin membalas pukulan Jiro. Lambungnya mengalami stress hebat."

Kembali mulutku terbungkam.

"Aku mohon, temui dia sekali lagi. Siapa tahu dengan kedatanganmu dia mau membuka matanya. Aku nggak memintamu untuk kembali padanya, aku tahu apa yang telah dia lakukan padamu kemarin sangat menyakitkan. Aku hanya ingin dia membuka matanya dan meminta maaf padamu."

Hatiku terenyuh mendengar penjelasan Mbak Asti. "Aku sudah memaafkannya, Mbak. Memang, aku masih butuh waktu untuk melupakan semua perlakuan kasarnya kemarin. Aku akan menemuinya nanti. Jangan khawatir, dia pasti segera sadar."

"Terima kasih, Da." Mbak Asti sontak memelukku.

Kubalas pelukannya lebih erat. Cukup lama kami berpelukan seperti ini sebelum Mbak Asti berpamitan untuk kembali ke rumah sakit.

Lama aku terpekur setelah kepulangan Mbak Asti. Perempuan itu begitu tangguh. Ayahnya terserang stroke setelah penolakanku waktu itu. Dan sekarang, adiknya juga ikut masuk rumah sakit. Itu pun karena ulahku. Dan Mbak Asti masih bisa menemuiku untuk membujuk agar aku mau bertemu adiknya. Betapa besar hatinya. Dia sama sekali tak membenciku. Dia menganggap seolah-olah apa yang kulakukan adalah sesuatu yang wajar.

Tiba-tiba aku merasa rendah.

Bagaimana mungkin aku tidak bisa melupakan perlakuan Petra padaku, sementara apa yang Petra lakukan itu hanya akibat dari perlakuanku padanya? Jiro benar, aku harus bisa melupakannya secepat mungkin kalau aku ingin terbebas dari rasa sakit hati.

Lupakan dan mulai lagi dari awal.


***


"Kamu yakin?" tanya Jiro saat kuungkapkan niatku untuk menemui Petra di rumah sakit. Matanya menjengit, tampak ragu dengan apa yang kukatakan padanya.

Siang ini, Jiro kembali datang ke kosku dengan dalih diminta mamanya mengantarkan makan siang untukku. Ah, kupikir itu ada benarnya. Keluarga Jiro pasti sedang heboh sekarang ini karena tadi pagi Angin yang ember itu memergokiku di kamar abangnya. Dan tak ada orang tua lain yang lebih "anti-mainstream" dibanding orang tua Jiro. Mamanya pasti segera menganggapku menantunya, papanya pasti dengan hebohnya menggoda Jiro dan aku nanti kalau kebetulan kami kepergok bersama lagi.

Seperti sekarang, Jiro mengantarkan sesusun rantang piknik berwarna hijau muda yang berisi dua buah rantang. Katanya, makanan ini disiapkan khusus oleh mamanya. Ya, aku bisa lihat itu. Mama Jiro sengaja menyelipkan secarik kertas di antara tutupnya. Kertas bertuliskan "Makan yang banyak biar kalian bisa cepat menikah" itu sanggup membuat Jiro salah tingkah saat aku membacanya keras-keras tadi.

"Kamu sudah mempertimbangkannya? Bagaimana kalau ternyata ini jebakan?" tanyanya lagi.

"Mbak Asti nggak mungkin melakukan itu, Jiro."

"Ya, aku tahu. Kalau Mbak Asti mau menjebakmu, ngapain dia repot-repot membuatmu kabur kemarin. Tapi bagaimana dengan Petra? Bisa aja kan, ini hanya akal-akalannya untuk membohongi kita dan Mbak Asti."

Kukernyitkan dahiku. "Kamu... jealous ya?" tebakku.

Jiro memalingkan wajahnya. Aku tahu semburat merah itu tak bisa disembunyikannya lagi. Dia malu mengakui kalau dirinya cemburu. Hei, menurutnya apa? Setelah semua yang terjadi dia masih meragukanku?

Kusentuh tangan besar itu, lalu membawanya ke pipiku. "Kamu pikir perasaanku berubah begitu mendengar Petra sakit? Kamu pikir aku perhatian padanya? Oh, kalau memang itu terjadi berarti itu bukan cinta, tapi simpati—kasihan."

"Simpati kadang juga bisa berubah jadi cinta," ucapnya.

"Ya, tapi sesuatu yang berawal dari ketidaktulusan, biasanya nggak akan bertahan lama." Kurasakan jemarinya membelai pipiku.

"Oke, aku akan menemanimu kalau begitu."

Senyumku semakin lebar mendengar kalimat terakhirnya. Bukan hanya senang karena dia menunjukkan kekhawatiran yang begitu besar padaku, tapi juga senang karena dengan menemaniku artinya dia ingin menjagaku.

"Habiskan makananmu. Mama bisa marah kalau tahu makanannya nggak habis."

Aku melotot. "Mamamu membuatkannya untuk kita berdua, lihat porsinya," tunjukku pada dua rantang yang masih belum terjamah itu.

Jiro tertawa keras. "Mungkin kita emang lebih pantas kalau makan bareng begini tiap hari," kelakarnya.

Refleks, tanganku memukul pundaknya pelan. "Ngomong apaan, sih. Ngaco."

"Lho, ngaco gimana? Emangnya kamu nggak pengin itu terjadi?"

Aku menunduk. Entah mengapa pembicaraan ini terasa begitu mengikatku. Jadi sebenarnya apa? Aku mencintainya, kan? Kenapa aku resah saat dia mulai membicarakan masa depan kami? Atau sebenarnya aku tidak mencintai Jiro? Kugelengkan kepalaku cepat. Bukan. Bukan cinta masalahnya. Tapi akulah yang memang belum siap.

Jiro seakan tahu kegelisahanku. Direngkuhnya tubuhku. Dalam dekapnya, dia mengecup puncak kepalaku dalam-dalam.

"Aku nggak memintamu menikah denganku sekarang, Da. Aku akan menunggu sampai kamu benar-benar siap. Dan tentu saja sampai tugas akhirmu terselesaikan."

Sambil tersenyum malu, aku memukul dadanya. "Aku juga ingin segera menyelesaikannya kok," kilahku.

"Ya, tapi aku sangsi. Setelah ini tugas itu pasti kembali terbengkalai."

Sekali lagi kupukul dadanya pelan. Dalam hati diam-diam aku membenarkan kesangsiannya itu. Aku sendiri juga ragu bisa menyelesaikannya dengan segera.

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now