TUJUH BELAS

207 29 6
                                    

"Beban itu bisa diringankan,

Sakit itu bisa diobati,

Lalu apa yang kurang?"

***




Sore ini, aku dan Jiro memutuskan untuk menjenguk Petra di rumah sakit setelah sepanjang siang kami berdebat tentang ini. Jiro masih saja ragu dengan keputusanku menemui Petra sekali lagi. Aku tahu keraguannya ini hanya sebagian kecil dari rasa khawatir yang begitu besar padaku. Dia takut Petra akan menyakitiku lagi seperti tempo hari.

"Kalau ada apa-apa di dalam sana, teriaklah," pesannya sebelum aku masuk ke ruang ICU.

"Siap, Bos." Aku memberinya sikap hormat. Dia menanggapi gurauanku itu dengan senyum, lalu tangannya terangkat menyentuh puncak kepalaku. Mengacak-acak rambutku, seperti kebiasaannya.

Petra masih dirawat secara intensif di ruang ICU. Di dalam sini, Mbak Asti tak beranjak dari duduknya. Terus menjagai Petra yang belum juga siuman.

"Akhirnya kamu benar-benar datang, Da," sambutnya saat melihatku.

"Dia belum sadar, Mbak?" tanyaku. Lalu segera kurutuki kebodohanku menanyakan hal yang sudah jelas terpampang di hadapanku.

Mbak Asti menggeleng lemah. "Entah cara apa lagi yang bisa membuatnya bangun."

Aku mendekat ke sisi ranjang. Duduk di kursi kayu berukuran pendek yang khusus disiapkan untuk para pembesuk. Kudekatkan diriku ke telinga Petra, ingin membisikkan sesuatu.

"Bangun, Petra. Ini bukan kamu. Petra yang kukenal itu kuat dan tangguh," bisikku.

Tak ada respon. Petra masih tetap bergeming.

"Oke, kamu mau aku memaafkanmu, kan? Bangunlah, minta maaf padaku langsung."

Kutelengkan kepalaku pada Mbak Asti yang berdiri di seberangku, lalu menggelengkannya. Apapun yang kukatakan, tak mendapat respon positif dari Petra. Tak ada tanda-tanda dia akan siuman.

Kali ini giliran Mbak Asti yang mendekatkan mulutnya ke telinga Petra. "Dia sudah datang Petra, bangunlah. Kalian bisa memulai lagi dari awal," bisiknya.

Segera mataku melotot ketika menyadari apa yang tengah dibisikkan Mbak Asti pada Petra. Itu bisa saja berarti dia mengatakan aku bersedia menjadi milik Petra lagi.

"Mbak," bisikku. "Itu sama saja membohonginya, kan?"

"Apalah arti sebuah kebohongan, Da? Kalau itu bisa membuat adikku tersadar, aku akan melakukannya." Dia terisak. "Tolong, kali ini bantulah aku."

Aku menunduk. Kembali memikirkan permintaan kakak perempuan Petra ini. Kalau aku mengabulkannya, sama saja dengan mengorbankan perasaanku. Tapi kalau tidak, mana aku tega melihat orang yang begitu baik seperti Mbak Asti harus berleleran air mata dan memohon padaku.

"Tolong katakan padanya, kamu mau memulai hubungan baru dengannya. Please."

Kuembuskan napasku keras. Aku tak bisa menolaknya. Seperti yang diminta Mbak Asti, aku membisikkan kalimat itu di telinga Petra. Tetap saja tidak ada respon dari Petra. Kucoba cara lain. Dengan lembut aku menyentuh tangan Petra, menggenggamnya dan membawanya ke pipiku. Sekali lagi aku mengulang kalimat terakhir yang kuucapkan tadi.

Seperti sebuah mantra, jemari Petra merespon sentuhanku. Bola matanya yang sedang terpejam, terlihat bergerak-gerak. Kembali aku dan Mbak Asti memecut semangatnya untuk bangun.

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now