TIGA

485 44 3
                                    

"Aku ingin mengerti,

Jika ini benar cinta, mengapa aku terkubur dalam keangkuhan?

Tapi jika ini bukan cinta,

Mengapa rindu ini begitu ingin menuntaskan nyawa?"

***




"Dia lagi?"

Seseorang mendekat padaku dan meletakkan cangkir berisi moccachino yang masih mengepul di meja yang sama dengan tempatku berjibaku dengan laptop. Euh, sebenarnya sih, sejak setengah jam yang lalu jemariku hanya sibuk berputar-putar di atas tuts keyboard-tak benar-benar mengetik. Pikiranku masih melayang pada pertemuanku dengan Jiro siang tadi. Bahkan kertas yang diberikannya padaku sebagai bahan wawancara pun masih bergeming di atas meja, bersama tumpukan buku-buku referensi skripsiku.

"Kenapa kamu nggak bisa melupakannya, Da?" Seseorang itu bersuara lagi.

Kesadaranku seketika kembali. Mataku dengan cepat mengarah padanya. Cowok yang sudah sejak dua tahun lalu menjadi pacarku, Petra. Lalu desahan itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Aku tahu banget, novel ini hanya pancingan agar dia menyatakan perasaannya padamu, kan?" tanyanya sembari menunjuk novel berjudul FriendLove karanganku di atas meja. "Seharusnya kamu sadar satu hal. Kamu membuang-buang waktu dengan ini. Seharusnya skripsimu sudah selesai sejak dua bulan yang lalu dan bulan ini seharusnya kamu wisuda, tapi kamu terus mengulur waktu demi menyelesaikan novel ini. Kamu nggak sadar, dia benar-benar nggak mencintaimu. Dia hanya menganggapmu sebagai sahabat, nggak lebih."

"Petra..." Aku menggigit bibir bawahku dalam. Rasanya sakit saat menyadari kenyataan seperti yang diungkapkan Petra itu benar adanya. Aku saja yang enggan mengakui kenyataan seperti itu.

"Aku sayang padamu, Da. Aku sebenarnya nggak ingin ada orang lain di antara kita. Aku cemburu tiap kali kamu lebih memikirkannya daripada aku. Hatiku sakit karena kamu nggak pernah menganggapku. Lalu, apa gunanya kamu menerimaku dulu kalau ternyata kamu nggak pernah bisa melupakannya?"

Aku terenyak. Selama ini aku memang tak pernah memikirkan perasaan Petra. Dia datang di saat yang tepat-saat aku benar-benar terpuruk karena Jiro. Aku juga tak memikirkan apapun saat menerimanya jadi pacarku. Aku tak berpikir sampai sejauh ini, tak pernah menyangka kalau dia benar-benar menyayangiku.

Petra beranjak dari duduknya, lalu mengayun langkahnya dengan gontai keluar dari kamar kosku.

"Petra, maaf...," bisikku saat dia sudah mulai menjauh. Kutangkupkan kedua tanganku menutupi wajah.

***

Jiro Aditya. Nama inilah yang ingin kutulis pertama kali jika aku memiliki Death Note. Akan kutuliskan sebab kematian yang paling mengenaskan untuknya. Dia memutilasi tubuhnya sendiri, misalnya.

Oh, astaga. Cinta ternyata bisa membuat seseorang menjadi psikopat. Baru memikirkan akan menulis namanya di Death Note saja sudah membuatku bergidik ngeri. Tapi kurasa dia memang pantas dibalas untuk setiap jengkal rasa perih yang diciptakannya di hatiku. Ah, sebenarnya dia tidak pernah menyakitiku. Dia bahkan selalu membuatku tertawa, membuatku nyaman sekaligus berdebar-debar ketika bersamanya. Aku sendirilah yang merasa tersakiti olehnya hanya karena memendam perasaan yang begitu dalam padanya. Salahku sendiri yang tak pernah mau mengungkapkannya.

Sampai sekarang, saat kami sama-sama menjadi mahasiswa tingkat akhir, tak pernah kudapati dia menjalin sebuah hubungan dengan seorang cewek pun. Sedangkan aku, sudah berganti pacar sebanyak dua kali. Aku selalu tak bisa memutuskan sebuah hubungan yang sudah terjalin dengan seseorang, jadi aku hanya bisa menunggu dan menunggu sampai cowok itu yang memutuskanku. Begitu pun dengan Petra. Berbagai cara kulakukan untuk memancing amarahnya agar dia mau memutuskanku. Tapi apa? Dia mengerti. Ya, pengertian adalah salah satu sifat baik Petra yang sebenarnya tidak begitu kusukai.

Ponselku bergetar pelan. Sebuah pesan masuk. Jemariku segera menyentuh layarnya untuk membuka pesan itu. Dari Jiro.


Bisa kita bertemu?

Aku sudah selesai membaca novelmu,

sekarang giliranmu menjawab semua pertanyaanku.


Segera aku membalas pesan itu. Kali ini dia memang harus tahu. Apapun yang akan terjadi nanti, terserah. Yang penting aku sudah mengeluarkan semua bebanku.


Di mana?


Send. Tiba-tiba dadaku berdebar. Aku merasa tidak siap bertemu dengannya dalam keadaan tertangkap basah seperti ini. Ya, tertangkap basah sudah membuat sebuah novel yang secara tidak langsung menyatakan perasaan pribadiku.


Di tempat biasa juga boleh.


Oke. Besok pagi jam sepuluh.


Biarlah aku yang menentukan waktunya. Ini berkaitan dengan kesiapan mentalku sendiri sebenarnya. Aku harus memiliki kepercayaan diri sebelum bertemu dengannya besok. Pundakku kembali melemas. Bayangan Petra kembali berkelebat mengganggu pikiranku. Aku sendiri, sebenarnya tidak pernah tahu bagaimana perasaanku padanya hingga saat ini. Dan sama sekali tak menyangka bahwa dia benar-benar mencintaiku seperti ini.

Kuusap wajahku kasar. Tak ingin lagi memikirkan apapun yang terjadi setelah besok. Yang pasti Jiro harus tahu, tidak mungkin selamanya aku akan menyimpan perasaan ini dan menyakiti diriku sendiri lebih dalam lagi. Kalau nanti Jiro memutuskan untuk tidak menerimanya, yah, mau bagaimana lagi? Mau tidak mau aku tetap harus menerima kenyataan itu.

Kusandarkan punggungku di kursi kayu yang sejak sejam yang lalu sudah kududuki ini. Menghela napas panjang sebelum akhirnya beranjak dari sana. Satu tanganku menutup laptop yang masih menyala. Tak lagi memedulikan skripsi yang menyita waktu. Eh, sebenarnya bukan skripsi ini yang menyita waktuku, kan? Tapi siapa peduli? Menyalahkan skripsi jauh lebih mudah daripada menyalahkan seseorang yang jelas-jelas akan mendapatkan pembelaan dari hatiku.

Langkahku berayun menuju ranjang kecil fasilitas dari ibu kos yang selalu mengenakan mahkota rol itu. Melempar tubuhku ke atas kasur yang cukup keras. Di tanganku sudah tergenggam sebuah novel bersampul warna biru tua dengan gambar sepasang cowok dan cewek yang berada di bawah satu payung berwarna hitam. Tertulis dengan huruf tebal dan berukuran besar judul dari novel itu: FriendLove.

Ahh, warna biru tua pada kavernya sangat sesuai dengan isi novel ini. Kesedihan.

"Bodoh!" Aku memaki diriku sendiri.

Kenapa menuliskan akhir kisah ini dengan sesuatu yang menyedihkan? Kenapa aku harus kehilangan tokoh Jiro di novel ini? Seharusnya aku menaruh harapan yang besar di sini, bukannya malah mematikan harapanku sendiri untuk bisa bersatu dengan Jiro.

Kubuka lembar demi lembar novel ini. Tak berselera membacanya karena tanpa melakukannya pun, aku sudah tahu kisahnya seperti apa. Membaca kisah ini sudah kulakukan puluhan kali sejak naskah mentahnya belum kulempar ke meja penerbit. Bahkan sebelum naik cetak pun aku masih sempat membacanya lagi berulang kali dan melakukan perbaikan. Lalu kenapa aku tidak memperbaiki akhir ceritanya?

Berkali-kali kuketukkan jariku yang mengepal ke pelipis. Berharap kebodohanku bisa diperbaiki. Bagaimana kalau nanti akhir dari novel ini menjadi kenyataan? Relakah aku kehilangan Jiro? Tidak. Lalu kenapa waktu itu aku tidak berpikir panjang seperti ini ketika menulisnya?

Kupejamkan mataku sejenak, lalu membukanya lagi. Tanganku dengan sigap membalik halaman hingga ke bagian ending. Membacanya, lalu meneteskan air mata dengan konyol.

Percuma saja aku menyesali hal ini sekarang. Novel ini sudah beredar. Jiro bahkan sudah selesai membacanya. Tidak akan ada yang bisa mengubah jalan ceritanya meski aku yakin banyak yang ingin melakukan hal itu.

Kupasrahkan nasibku pada Tuhan, sebagaimana seharusnya. Membiarkan takdir ini mengalir tanpa mengubah apapun jalan ceritanya. Aku ingin tahu, Tuhan akan menjadikanku sosok sekuat apa?




SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now