DUA BELAS

245 30 0
                                    

"Berada dekat denganmu,

Selayaknya bintang yang mencoba bersanding dengan matahari."

***





Sebenarnya aku malas mau mengikuti saran Jiro untuk segera menyelesaikan skripsiku, tapi aku teringat lagi, skripsi ini memang seharusnya sudah selesai. Ibuku sudah sering mengingatkanku tentang ini sebenarnya. Jadi, di sinilah aku. Berkutat dengan buku-buku di perpustakaan daerah. Mencari referensi untuk melanjutkan bab empat. Dengan susah payah, seminggu yang lalu aku sudah berhasil menyelesaikan bab tiga. Bukan karena aku ngebet jadi pacarnya Jiro atau apa, tapi memang saat ini ada kesadaran sendiri dariku untuk menyelesaikan tugas akhirku ini. Beruntung aku mendapatkan dosen pembimbing yang begitu pengertian. Beliau bahkan tak pernah mempersulitku.

Tentu saja aku menolak tawaran Jiro untuk menjadikannya mentorku. Meskipun jurusan kami sama—Jurnalistik—tapi aku masih memiliki kesadaranku. Memangnya aku mau mengambil risiko dengan serangan jantung? Berada berdekatan dengannya sebentar saja sudah membuat jantungku berdetak tak normal, apalagi kalau harus berlama-lama. Lagipula, hal itu justru akan menghambatku bukan?

Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada novel FriendLove. Kembali memikirkan ending-nya. Kurasa memang aku yang terlalu berlebihan. Mana mungkin akhir kisahku yang sebenarnya akan sama dengan akhir kisah yang kutulis dalam novel? Kalau memang begitu, toh aku menuliskan akhir yang manis di novel kedua yang mungkin akan rilis beberapa bulan lagi. Kalau setiap novel yang kutulis berbeda akhirnya, lalu akhir novel yang manakah yang akan jadi acuan hidupku?

Kembali aku teringat, hidupku sepenuhnya dalam kuasa Tuhan. Dia yang menuliskan kisahku, Dia pasti juga sudah menuliskan bagian akhirnya.

"Melamun apa, sih?"

Aku berjingkat saat kurasakan sebuah tangan menyentuh bagian atas kepalaku. Refleks kepalaku mendongak. Seketika bibirku mencebik ketika mendapati Jiro berada di sana. Cowok itu beranjak, duduk di sampingku.

"Belajar atau melamun?" tanyanya lagi.

"Ngapain sih di sini? Mau memata-mataiku, ya?"

Jiro terkekeh pelan. "Bukan memata-mataimu, Dear. Tapi sengaja menjagamu."

"Sejak kapan memanggilku dengan panggilan lebay begitu?" tanyaku nyinyir, merasa tak suka—atau jengah—dengan panggilan 'Dear'-nya tadi.

Dia mengibaskan tangannya, seolah pertanyaanku itu bukan sesuatu yang penting untuk dijawabnya. "Aku tadi ke kosmu, kata anak-anak di sana kamu sedang di sini untuk cari referensi. Jadi, sudah menyelesaikan bab empat?" Kepalanya melongok ke arah laptopku yang menyala, menampilkan lembar Microsoft Word yang masih bersih.

"Kamu pikir segampang itu nyari referensi sambil nulis sekalian?" Kuputar tubuhku menghadap tumpukan buku-buku tebal di meja. Kuambil salah satunya, lalu membacanya acak.

"Memang nggak gampang, tapi buktinya aku aja bisa."

Kembali aku mencebik. Dia memang sudah menyelesaikan skripsinya, tinggal menunggu jadwal wisuda bulan ini kalau tidak diundur lagi.

"Kalau sudah diniatkan, apapun itu pasti mudah dikerjakan."

"Akan sulit jadinya kalau kamu ada di sini," sanggahku tanpa sadar.

"Apa?" Kepalanya terjulur, mencoba menatapku yang tak begitu memperhatikannya. Matanya menelisik wajahku lebih dalam.

Karena malu, kututup wajahku dengan buku yang sedang kubaca. Aku yakin Jiro tengah menahan dirinya untuk tidak menertawakan tingkah konyolku ini. Beberapa saat kemudian tangannya menurunkan buku yang menutupi wajahku. Senyum jahil itu segera menyambutku.

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now