LIMA

380 41 2
                                    

"Terkadang cinta lebih memilih menjadi sahabat

Agar bisa saling memahami satu sama lain."

***




Aku datang lebih lambat lima belas menit dari perjanjianku dengan Jiro. Aku yakin dia juga belum datang dan aku tak mau menunggunya seperti yang sudah-sudah. Kalau pun dia sudah datang, biar saja dia yang menungguku kali ini. Tawaku menggema ketika membayangkan wajah sebal Jiro dan gerutuannya yang panjang lebar karena tak sabar menunggu.

Sesuatu yang cukup mengejutkan, kutemui ketika sampai di tempat kami janjian. Jiro memang sudah datang. Tapi dia duduk dengan tenang. Ekspresinya sama sekali tak terlihat gusar, geram, atau apa pun. Dia menungguku dengan santai sembari menyesap minuman berwarna krem dalam gelas tinggi. Sesekali matanya melirik ke arah meja, lalu tangannya bergerak-gerak.

Oh! Dia tengah membaca sesuatu! Ya Tuhan, pertanda apa ini? Sejak kapan seorang Jiro hobi membaca sambil ngopi di kafe? Seharusnya itu kebiasaanku, kan?

Kulangkahkan kakiku cepat-cepat hingga mencapai mejanya.

"Kamu terlambat lima belas menit," ujarnya sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata pun.

Dan kamu terlambat selama sepuluh tahun, batinku. Aku berusaha menjaga ekspresiku tetap tenang. Tanpa memedulikan kata-katanya tadi, aku segera mengambil tempat duduk tepat di hadapannya.

"Dhida Arhela, anda melakukan kebohongan publik dalam novel anda yang berjudul FriendLove."

Sesaat setelah aku benar-benar duduk, dia sudah menyentakku dengan kalimatnya. Apa maksudnya bicara seperti itu?

"Semua orang yang mengenal kita, teman-teman SMA, teman-teman kuliah, teman kerja, keluarga. Mereka semua menganggap novelmu ini adalah kisah nyata kita. Dan kenapa kamu membelokkan akhirnya? Tokoh Jiro belum mati, Arhel."

Aku terkesiap. A-apa-apaan dia itu?

"Kamu sengaja membunuhku di novelmu untuk balas dendam?"

Segera kukuasai kegugupanku. "Hei, coba lihat label novel itu. Itu hanya novel teenlit yang bersumber dari kehidupan remaja. Murni fiksi. Kalau pun ada beberapa hal yang menurutmu pernah terjadi di antara kita dalam novel ini, aku minta maaf sudah mencatutnya begitu saja tanpa seizinmu. Tapi, kurasa aku nggak perlu izinmu kan? Toh ini pengalaman pribadiku."

Jiro tertawa. Lesung pipitnya semakin kentara ketika dia tertawa seperti ini. Lesung pipit yang membuatku tak tahan lagi.

"Aku ke sini untuk memenuhi kewajibanku atas wawancara kita yang tertunda beberapa hari yang lalu. Bukan untuk mendengarkan tawamu yang jelek itu." Aku mendengus.

Masih mencoba meredakan tawanya, "oke-oke. Mari kita mulai wawancaranya. Pertanyaan pertama, apakah novel ini berdasarkan kisah nyata?"

"Aku sudah menjawabnya tadi. Novel ini murni fiksi. Kalau pun ada yang bersumber dari kisah nyata, itu hanya sebagai pelengkap yang tetap akan difiktifkan."

"Lalu, dari mana inspirasi tokoh-tokohnya?"

Aku sedikit gelagapan menata kalimat untuk menjawab pertanyaan yang satu ini. Jadi kuputuskan untuk mengatakan, "tokoh Arhel, sebagian inspirasinya dari diriku sendiri, sebagian lainnya gabungan dari beberapa tokoh anime favoritku. Untuk tokoh Jiro, terinspirasi sepenuhnya oleh sahabatku semasa SMP."

Bam!

Pandangan kami bertemu.

Sinar di matanya seolah bertanya: aku?

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now