TUJUH

322 36 2
                                    

"Kali ini kutahu aku benar,

Cinta tidak memejamkan mata.

Cinta melihat dengan gamblang apa yang ada di depan mata."

***





Oke, mungkin aku memang bodoh. Tapi apa ini salahku sepenuhnya? Kurasa bukan. Jiro juga andil dalam hal ini. Kalau memang dia memiliki perasaan yang sama denganku, kenapa dia harus memendamnya. Atau mungkin dia menungguku mengungkapkan perasaanku terlebih dulu?

Gila.

Aku ini cewek. CEWEK. Mana mungkin aku akan menyatakan perasaanku padanya terlebih dulu? Kecuali aku sudah tak punya urat malu di leherku.

Atau mungkin dia menahan perasaannya ini karena tahu aku selalu punya pacar?

Hei, aku baru dua kali berpacaran selama lulus SMA. Kenapa dia tidak menyatakannya sewaktu masih di SMA dulu?

Kutepuk keningku pelan. Oh, Tuhan. Kenapa hambamu ini bisa begitu bodoh. Dan pelupa. Semasa SMA aku selalu saja berbohong padanya. Aku selalu berkata bahwa diriku punya pacar. Selalu berharap membuatnya cemburu dengan kebohonganku itu. Nyatanya apa? Dia stay cool. Dia bahkan tak mau peduli dengan cerita tentang 'pacar-pacarku' selama SMA.

Sebuah pesan masuk di ponselku, membuatku sedikit berjingkat karena deringnya. Kujangkau benda mungil itu dari atas nakas dengan satu tangan, malas untuk bangun dari posisi rebahanku yang sudah nyaman.


Aku akan ke rumah malam ini bersama orang tuaku.


Dari Petra. Cukup singkat, tapi berhasil membuatku terkejut. Aku segera bangkit dari posisiku sebelumnya. Terduduk dengan perasaan tak keruan. Jemariku mengetikkan sesuatu di atas layar ponsel berukuran tiga inci itu.


Ngapain?


Aku membalasnya dengan satu kata yang cukup mewakili semua pertanyaanku. Jujur saja, aku sudah mulai membayangkan apa jawaban Petra untuk pertanyaanku ini.

Kami sudah berpacaran sejak dua tahun yang lalu. Dan sudah berkali-kali dia membahas hal ini denganku. Pernikahan. Aku selalu mengelak dengan menjadikan skripsi dan wisuda sebagai alasanku. Tapi kali ini, rasanya Petra sudah tidak bisa memberiku toleransi lagi.


Orang tuaku sudah mendesak kita untuk segera menikah.

Malam ini aku akan melamarmu, meminta izin pada ayah dan ibumu.


Benar, kan? Kenapa sih dia ini? Tidak adakah hal lain selain pernikahan yang bisa dia bahas denganku? Kecuali kalau memang usia pacaran kami sudah lebih dari lima tahun, atau usia kami yang sudah menjelang tua-30 atau 40 tahun.


Aku harus bilang berapa kali padamu? Aku belum siap menikah, Petra.

Lagipula, aku masih di kos. Belum pulang.


Sent


Aku juga nggak memaksamu menikah denganku sekarang.

Aku hanya akan datang melamar, meminta restu.

Akan kujemput di kos lima belas menit lagi, bersiap-siaplah.

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now