ENAM

347 34 0
                                    


"Mencintai bisa juga berarti perang.

Perang melawan semua keegoisan diri atas nama rindu."

***



"Kenapa sih, nggak minta jemput pacarmu aja?" keluh Jiro saat Arhel memintanya untuk menjemput di sekolah saat Arhel sedang ada acara malam untuk kegiatan ekstrakulikulernya.

Di belakang punggung Jiro, bibir Arhel mengerucut. "Kenapa nggak bilang sejak awal kalau kamu nggak ikhlas jemput?" Dia malah melontarkan sebuah pertanyaan lain untuk Jiro.

Di antara desau angin yang menerpa keduanya di atas motor, terdengar Jiro mendesah samar. "Bukannya nggak ikhlas, Arhel. Tolong bedakan antara bertanya biasa dengan bertanya karena merasa keberatan."

"Tapi telingaku menangkap itu sebagai keluhan, bukan pertanyaan."

"Oke, terserah padamu mau mengartikan itu sebagai apa. Tapi bisakah kamu menjawabnya?"

"Dia sudah kuliah," sahut Arhel asal.

Hening yang cukup lama menguasai mereka. Masing-masing berkutat dengan pikirannya sendiri. Arhel menyesal sudah mengucapkan jawaban asal itu untuk menjawab pertanyaan Jiro tadi. Seharusnya tadi dia mengucapkan sesuatu yang mungkin akan membuat Jiro tertarik untuk menggodanya. Semisal: aku nggak punya pacar, Bodoh. Masih dalam diam, Arhel terus saja mengetuki pelipisnya dengan buku-buku jari.

Sementara itu, hal lain lagi dipikirkan oleh Jiro. Jawaban Arhel tadi mengusiknya. Sudah setahun berlalu sejak dirinya mengetahui kenyataan bahwa Arhel memiliki seorang pacar di sekolah. Dia pikir kali ini gadis itu akan menjawab seperti apa yang dia inginkan, tapi nyatanya Arhel masih berhubungan dengan pacarnya itu. Dia bukanlah seseorang yang mudah jatuh cinta, apalagi menyatakannya.

"Ng... kenapa tiba-tiba nanyain pacarku?" tanya Arhel hati-hati.

Bibir Jiro tertarik ke samping, membentuk sebuah lengkung senyum tipis-tipis. "Enggak sih, kupikir kita bisa pacaran kalau kamu putus sama pacarmu itu."

Arhel menajamkan pendengarannya, siapa tahu Jiro bersedia mengulangi kalimatnya tadi. Sia-sia. Karena Jiro sudah melanjutkan kalimatnya dengan sesuatu yang lain.

"Tapi, kalau pun kamu belum putus sama dia memangnya kenapa? Kita masih bisa seperti ini sampai kapan pun kamu mau."

Refleks, Arhel menggaplok punggungnya. "Heh, Bodoh. Ngomong apa sih?"

Jiro tertawa. "Lupakan."

Gadis di belakang punggungnya merengut. Tapi, tak urung Arhel melingkarkan tangannya di perut Jiro lalu menyandarkan kepalanya di punggung cowok itu. Jiro meliriknya sekilas, lalu sesaat menggenggam tangan mungil yang ada di perutnya sebelum dia kembali fokus ke jalanan yang masih cukup padat.

***

Hari ini hari Minggu. Biasanya, Arhel dan Jiro akan janjian untuk nonton, atau sekadar jalan-jalan di taman. Tapi tidak untuk hari ini. Jiro bahkan belum menghubunginya lagi sejak semalam.

Arhel berkeliling di kamarnya. Mengatur berbagai macam skenario di otaknya. Haruskah dia menghubungi Jiro terlebih dulu? Memasang suara serak penuh isak tangis, sehingga Jiro akan bertanya kenapa. Oke, mungkin ini terdengar sedikit cengeng, tapi Arhel akan mengatakan bahwa dirinya putus dengan sang pacar. Lalu, Jiro akan mengajaknya bertemu, menemaninya seharian, dan kalau beruntung, akan benar-benar mengajaknya jadian.

Ah, tapi bagaimana kalau Jiro malah merasa bersalah atas kejadian putusnya Arhel dengan sang pacar? Lalu, setelah menemani dan menghibur Arhel seharian dia malah menghilang? Kepala Arhel bergoyang cepat. Tidak. Itu bukan skenario yang tepat. Lalu, skenario macam apa yang tepat untuk membuat Jiro menemaninya hari ini?

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now