SEMBILAN BELAS

285 28 1
                                    

"Meski berjarak ribuan tahun cahaya

Tak ada yang bisa mengubah takdir itu.

Bintang akan selamanya membiaskan matahari."



***


Begitulah. Hari-hari penuh buku pun dimulai. Jiro bukanlah mentor yang lembut seperti bayanganku. Dia begitu galak. Sekali saja aku melakukan kesalahan, dia bisa menjitak keningku dua kali. Kami lebih sering bertengkar selama pengerjaan tugas akhirku ini. Tapi itu membuahkan hasil, selama tiga minggu lebih beberapa hari saja aku sudah berhasil menyelesaikan seluruh bab yang tersisa. Jiro membantu semua hal, termasuk risetku, dengan sangat baik.

"Besok aku udah boleh sidang yudisium," lonjakku senang. Tadi pagi saat ke kampus, aku melihat namaku tercantum dalam daftar mahasiswa yang lolos sidang yudisium besok.

Jiro tersenyum tipis. "Selamat, ya." Diacaknya rambutku seperti biasa.

Dengan perasaan campur aduk, aku menghambur ke pelukannya. "Terima kasih. Tanpa kamu aku nggak mungkin bisa menyelesaikannya dengan baik."

Dia mengelus bagian belakang kepalaku penuh sayang. "Ini semua kerja kerasmu. Aku hanya mencoba memacu semangatmu."

"Kalau begitu," kataku sambil melepaskan diri dari pelukannya. "Mulai besok aku sudah boleh menyelesaikan revisiku?"

Sebuah jitakan kudapat di keningku, seperti biasanya. "Siapkan dirimu untuk sidang besok, Bodoh. Kalau dalam sidang besok kamu lulus, terserah kamu mau melakukan apa."

Bibirku mengerucut.

Dengan gemas, Jiro mencubit pipiku sambil tertawa-tawa.

***


Hari paling mendebarkan dalam hidupku akhirnya terjadi juga. Tangan dan kakiku berkeringat. Kemeja putihku rasa-rasanya juga sudah mulai basah ketika menunggu giliranku untuk sidang.

Jiro menggenggam tanganku erat. "Jangan takut. Ketakutan itu justru akan membuatmu tidak lulus nanti. Percayalah pada dirimu sendiri. You can do it!"

"Aku nggak takut, tapi nervous," kilahku.

Terlihat olehku, Jiro sedang merogoh sesuatu di saku jaketnya. Tanpa memedulikanku yang cengo, dia menyematkan sesuatu di jari manis kiriku.

Sebuah cincin! Sederhana. Terbuat dari emas putih, polos—tak banyak ornamen, dengan satu permata kecil di bagian tengahnya. Rasanya kakiku sedang tidak terikat dengan gravitasi sekarang ini. Melayang.

"Kalau masih nervous juga, lihat cincin ini. Anggap aku ada di sampingmu, menggenggam tanganmu seperti ini." Dia melakukan seperti apa yang dikatakannya, menggenggam tanganku dan meremasnya lembut.

"I-ini..."

"Sebenarnya aku mau melamarmu nanti kalau aku sudah wisuda, tapi sepertinya sekarang juga nggak masalah."

"Nggak masalah katamu? Jiro, ini malah membuatku makin gugup, tahu."

Bersamaan dengan pekikanku itu, namaku dipanggil.

"Aku belum selesai denganmu. Tunggu aku di sini."

Jiro hanya mengangkat dua jarinya ke udara, membentuk huruf "V". Dia ini kenapa sih kalau nggak mengejutkanku seperti ini? Tiba-tiba saja melamarku di saat seperti ini.

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now