SEMBILAN

256 33 0
                                    

"Jika pada akhirnya akan menghilang,

lalu mengapa rasa itu harus menghamba?"

***




Semuanya di luar dugaanku.

Walaupun keinginan untuk menolak sudah begitu bulat di hatiku, nyatanya aku tetap menerima lamaran Petra ini. Melihat wajahnya, kemudian kedua orang tua Petra, dan tentu saja orang tuaku sendiri, membuatku seperti dilanda perasaan bersalah. Akan seperti apa jadinya kalau aku menolak? Ayah Petra memiliki riwayat penyakit jantung. Aku tidak mungkin membuatnya shock dengan penolakanku.

Dan inilah akhirnya. Kami sudah mengantongi restu dari orang tua masing-masing. Petra sudah menyematkan sebuah cincin di jariku semalam-yang kulepas lagi pagi ini karena perasaan gamang menguasaiku.

Aku duduk di beranda rumah dengan gelisah. Cincin emas putih bermata satu itu masih kutimang-timang di tanganku sebelum akhirnya jatuh dan menggelinding. Kupandangi saja di mana jatuhnya cincin itu saat kusadari seseorang berdiri di seberangku. Jiro, masih mengenakan kausnya yang semalam, entah datang dari mana karena kulihat wajahnya tampak kusut. Dia mengambil cincin yang menggelinding di dekat kakinya. Membawanya padaku.

"Jadi, ini keputusanmu?"

Kuusap mataku yang terasa memanas. Akhir-akhir ini aku jadi begitu cengeng. Begitu pun hari ini. Setetes air mata dengan lancang menerobos sudut mataku. Tanganku dengan refleks mengusapnya kasar.

"Enggak masalah apapun pilihanmu, Da. Asal itu membuatmu bahagia, aku akan menerimanya."

"Aku nggak tahu akan bahagia atau enggak dengan keputusanku ini. Sayangku pada Petra nggak seperti yang kurasakan padamu, Jiro."

Jiro menunduk, menyembunyikan mata dan senyumnya. "Perasaan sayang seperti apa yang kamu rasakan padaku? Nggak usah dijawab, karena sekarang itu sudah nggak ada artinya lagi." Disodorkannya cincin itu padaku.

"Kamu nggak pernah memberiku kesempatan, Jiro."

"Aku sudah memberimu kesempatan selama sepuluh tahun ini. Apa itu masih kurang? Kamu yang nggak pernah mengizinkan aku untuk tahu isi hatimu."

Aku menunduk, menyembunyikan mataku yang mulai basah. "Aku... selama ini aku menunggu. Menunggu kamu mengungkapkannya terlebih dulu."

"Kamu menunggu dengan cara yang salah, Da. Cowok mana pun pasti akan berpikir ulang untuk menyatakan perasaannya kalau tahu cewek itu sudah punya pacar. Begitu juga denganku. Saat aku memancingmu, kamu selalu memberiku jawaban yang mengecewakan. Kamu selalu berkata sedang berpacaran dengan inilah, itulah. Bagaimana mungkin aku akan menyatakan perasaanku?"

Kurasakan tenggorokanku mulai berat oleh sedu yang mengisak. Air mata sudah membanjiri wajahku. Ya, semuanya memang salahku. Kalau saja aku tidak termakan oleh gengsiku sendiri mungkin kami sudah jadian sejak bertahun-tahun yang lalu. Tapi seperti katanya tadi, sekarang semua itu tak akan ada artinya.

"Maaf, aku nggak bermaksud menghakimimu." Jiro berjongkok tepat di depanku. Menyibakkan rambutku yang terurai menutupi wajah, memaksa mata basahku untuk menatapnya.

Di antara tetes-tetes air yang mengabut di mataku, dapat kulihat mata legam yang selalu berbinar jenaka itu berubah sendu. Menggelap sarat emosi. Dan kalau aku tidak mengkhayal, mata itu juga mulai berkabut.

Disentuhnya daguku dan dibawanya mendekat. Dalam hitungan detik dapat kurasakan hangat napasnya berembus tepat di atas bibirku yang bergetar karena masih menangis. Kami berciuman dalam uraian air mata. Getir, dan terasa sedikit asin. Aku semakin tergugu saat dia menyudahi ciuman ini. Dengan ibu jarinya, Jiro mengusap bibirku lembut. Seolah ingin menghentikan getar tangis di sana.

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now