DELAPAN BELAS

237 27 0
                                    

"Dan ketika cinta telah menyihirmu menjadi sesosok matahari

Takdir pun telah menuliskan padaku

Untuk menjadi bintang yang membiaskan cahayamu."



***


"Jiro nggak marah nih, kamu tiap hari ke rumah sakit ngurusin aku?" tanya Petra sehari setelah perdamaian kami.

Tanganku menyendokkan bubur di mangkuk yang ada di pangkuanku hingga penuh, lalu menyuapkannya ke mulut Petra. Aku mendesah sebelum menjawab pertanyaannya itu. "Entahlah dia marah atau enggak."

"Kok gitu?" tanyanya dengan mulut penuh.

Kukedikkan bahuku tak peduli. "Kami nggak ada kontak lagi sejak kemarin."

"Sudah coba menghubunginya?"

"Buat apa?"

Petra tertawa. Membahana. "Kamu nggak pernah berubah ya? Kalian tuh pacaran nggak sih? Kupikir kamu benar-benar mencintainya."

"Aku memang mencintainya, Petra."

"Cinta itu enggak egois, Da."

Aku menunduk. Memainkan kakiku di atas lantai marmer berwarna kecoklatan ini.

Petra menjulurkan tangannya untuk mengambil mangkuk yang ada di tanganku. Melahapnya sendiri. "Kamu pikir cowok mana yang akan tega membiarkan pacarnya bersama cowok lain?" tanyanya setelah menyuap sesendok bubur.

Kuangkat kepalaku, terkesiap mendengar pertanyaan Petra itu.

"Dia itu cemburu, tahu. Enggak ada seorang cowok pun yang mau terang-terangan menyampaikan rasa cemburunya."

"Entahlah, Petra. Dia terlalu sulit ditebak."

"Perasaan cowok bukan untuk ditebak, Darl. Coba pahami dia, mengalahlah."

Bibirku mengerucut tajam.

"Jangan gengsi untuk meminta maaf."

Kutatap Petra yang tengah menyuapkan bubur ke dalam mulutnya sendiri dengan lahap. Sepertinya dia memang sudah berubah. Aku perlu bersyukur untuk hal ini. Setidaknya, Jiro tak perlu lagi takut Petra akan menyakitiku lagi atau apa.

Mengingat Jiro, rasanya ada yang ingin melesak keluar dari dadaku. Gemuruh di jantungku tak juga mau mereda. Perasaan ini memang tak sama dengan yang kurasakan sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, tapi tumbuh jauh lebih besar. Kali ini Petra benar. Aku memang harus mengalahkan egoku sendiri. Mencoba memahami orang yang kucintai seperti yang seharusnya kulakukan sejak awal.

"Mau ke mana?" tanya Petra ketika aku bangkit dari dudukku.

"Mau ketemu mentor skripsiku, biar cepat wisuda," jawabku sembari mengerling jahil.

"Ah, dia ya?" Petra mengulum senyum. "Sukses, ya. Salam buat Jiro," serunya saat aku sudah di ambang pintu.

Kuanggukkan kepalaku sekali. Lalu melesat keluar area rumah sakit dan mencari taksi. Dadaku serasa penuh. Bahkan ketika di dalam taksi aku tak bisa menghentikan senyumku. Sampai-sampai sopir taksi yang kira-kira seusia ayahku itu berkali-kali melirik dari spion depan ke arahku. Beliau pasti sedang memastikan bahwa aku bukan orang gila yang nekat menumpang taksinya.

"Neng, abis menang undian yak?" tanyanya beberapa saat kemudian.

"Ini sih lebih daripada menang undian, Pak."

SEANDAINYA CINTAWhere stories live. Discover now