Epilogue

5.6K 295 114
                                    

Hujan turun tidak terlalu besar sore ini. Lane lebih memilih untuk menunggu hujan reda dibanding sampai ke stasiun dengan baju yang basah karena terkena air hujan. Cuaca yang cukup dingin membuat cewek itu mengantuk padahal hari ini akan menjadi hari keberangkatannya ke rumah nenek di luar kota-Adelaide tepatnya.

Anggota keluarga Hartman yang lain telah berangkat lebih dulu-kemarin. Sementara Lane, terpaksa harus berangkat belakangan karena tadi pagi ia harus ke sekolah untuk mengumpulkan setumpuk tugas remedial. Tidak bisa dipungkiri kalau hidup Lane berubah sedikit lebih banyak semenjak hari terakhirnya bersama Luke.

Pagi itu menjadi pagi terakhir dirinya bertemu Luke. Dan juga pelukan itu adalah pelukan terakhir mereka. Tapi lambat laun, Lane mulai terbiasa dengan ketidak hadiran Luke.

Rasanya, cewek yang bulan lalu genap berusia tujuh belas tahun itu ingin mengucapkan terima kasih kepada teman dan keluarganya yang telah membantu membuat dirinya sibuk sehingga lupa akan kesedihan yang ia rasakan. Mungkin ini terdengar sangat berlebihan, tapi ayolah, siapa sih yang tidak sedih saat hubungan dengan seorang Luke Hemmings harus berakhir?

Dan kepergian Lane ke Adelaide, diharapkan bisa memberinya hiburan. Meskipun 365 hari telah ia lewati sendirian,-tanpa Luke, maksudnya-cowok dengan mata berwarna biru laut itu kerap kali muncul di mimpi-mimpi Lane dan membuat cewek itu kembali mengingat kenangannya bersama Luke.

Suara milik Bea Miller terdengar dan tandanya ada sebuah panggilan masuk. Lane melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di meja dan nama Xandrine muncul di sana.

"Apa? Lip balm lo ketinggalan?" tebak Lane pada Xandrine di ujung sana mengingat kakaknya itu seakan tidak bisa hidup tanpa seonggok lip balm miliknya yang sepertinya tersebar di seluruh penjuru rumah.

"Lip balm gue aman tapi kaos polos punya Xavier yang warna biru tua ketinggalan. Lo belum jalan kan? Nitip, katanya."

Mau tidak mau, Lane yang pada awalnya ingin pergi saat itu juga, melangkahkan kakinya ke arah kamar Xavier yang tidak dikunci itu. Tanpa memutuskan sambungan telepon, Lane membuka lemari milik kakak nomor satunya itu lalu setumpuk kaos polos tertangkap oleh matanya. "Kak, tanyain dong, kata Lane mau dibawain berapa?"

Terdengar suara Xandrine yang berteriak memanggil nama Xavier dan dibalas oleh teriakan cowok itu juga yang berkata, "TIGA!"

"Cuman itu doang? Mama, Papa, lo, gak ada barang yang ketinggalan kan? Mumpung gue belum berangkat nih," ujar Lane sambil menjepit ponselnya diantara kepala dan bahunya karena cewek itu sedang memasukan kaos-kaos titipan Xavier ke tas ranselnya.

"Nggak, nggak. Kata Mama sama Papa, coba cek lagi tiket kereta dan segalanya," balas Xandrine menyampaikan omongan orang tua mereka.

Dengan satu gerakan cewek itu memastikan mulai dari tiket kereta hingga kartu identitasnya ada. "Aman, aman. Udah ya, ini gue mau jalan ke stasiun. Sampe ketemu, Kak."

"Iya, hati-hati ya. Inget pesen gue: kalo ada cowok yang macem-macem, tendang aja anunya!"

Lane tertawa kecil kemudian membalas. "Gila lo," ujarnya kemudian memutuskan panggilan.

Tidak ada hal lain yang diharapkan oleh Lane selain liburannya ke rumah nenek lancar, juga bisa setidaknya melupakan Luke selama dua puluh satu hari.

*

"Hei, bangun. Sudah sampai."

Tidak tahu berapa lama Lane tertidur hingga harus dibangunkan oleh petugas kereta karena sudah sampai. Lane menyunggingkan senyumnya seraya berkata terimakasih kemudian meninggalkan kereta yang sudah kosong itu.

Bersama dengan tas selempang yang ia gunakan, Lane mencari kursi kosong untuk menunggu dijemput oleh orang tuanya. Mata Lane menangkap sebuah kursi tunggu yang kosong karena orang tuanya berkata kalau mereka akan menjemput Lane ketika cewek itu sampai. Lane mengeluarkan ponsel miliknya dan menelpon Papanya untuk memberi informasi kalau dirinya telah sampai dengan selamat dan juga agar bisa cepat dijemput.

"Bener kan, jodoh tuh emang gak ke mana."

Sekuat tenaga Lane berusaha untuk mengabaikan suara itu karena ia tahu, kalau itu hanyalah satu diantara sekian orang iseng yang suka berbicara ngaco. Tapi, ketika matanya tidak sengaja menangkap tangan yang berada di atas lutut cowok yang duduk tepat di samping kirinya, otomatis cewek itu menoleh.

Luke tersenyum. "Hai."

Stasiun, ruang tunggu, Luke, dan senyuman cowok itu.

Parah, ini adalah kebetulan yang paling diharapkan oleh Lane.

Jantung Lane berdegup kencang dan keringat meluncur di punggungnya. Lane gugup. "Lah, Jakun?" balas Lane. Hanya itu yang mampu cewek itu katakan.

Terdengar kekehan yang keluar dari mulut Luke kemudian cowok itu berkata, "Percaya gak kalo di kereta tadi lo duduk di sebelah gue?"

"Feelings that come back are the feelings that never left."

t a m a t .


Stand on the GroundWhere stories live. Discover now