Wattpad Original
Ada 8 bab gratis lagi

1

53.8K 1.8K 35
                                    

"Apa pun yang terjadi, kau harus tetap tersenyum, Vanessa." Demikian kata mendiang ayahnya acap kali gadis itu mengeluhkan betapa berat hidup yang ia jalani. Maka, ketika dokter memberitahunya untuk segera melakukan operasi, Vanessa hanya bisa tersenyum.

"Merci beaucoup," ujarnya.

Tatapan dokter itu beralih dari lembar pemeriksaan medis di tangannya ke wajah Vanessa, menilai ekspresi dari ungkapan yang baru saja didengarnya. "Mademoiselle, sebaiknya Anda tidak menganggap remeh hal ini."

Kalau boleh jujur, tidak pernah sekalipun Vanessa menganggap remeh penyakitnya. Tetapi mau bagaimana lagi, untuk saat ini, pilihan di hidupnya sangat terbatas, dan melakukan operasi bukan salah satu di antaranya.

"Apa saya bisa pergi sekarang?" tanya Vanessa tak menghiraukan ucapan lawan bicaranya barusan.

Vanessa dapat melihat keraguan yang terpancar di raut muka dokter itu, namun beliau tak bisa membantah karena keputusan ada di tangan pasien.

"Tentu," kata dokter itu sembari melipat kertas laboratorium tersebut dan memasukkannya kembali ke dalam amplop panjang kemudian menyerahkannya kepada Vanessa. "Kalau Anda berubah pikiran, Mademoiselle, saya janji akan merekomendasikan dokter bedah terbaik untuk Anda."

Lagi-lagi, Vanessa tersenyum. "Saya sungguh berterima kasih atas perhatian dan pengertian dari dokter. Kalau begitu, saya permisi."

Dokter itu mengangguk. Mereka sempat berjabat tangan sebelum Vanessa melangkah keluar dari ruangannya. Ia berjalan di sepanjang klinik umum tersebut, kemudian membuka pintu kaca dan menaiki sepeda—yang dibelinya di pasar loak tahun lalu—untuk sampai ke Boulangerie Patisserie Sargent, toko kue di mana ia bekerja. Vanessa memang lebih menyukai bepergian menggunakan sepeda karena ia sangat menikmati momen saat dirinya dapat mencium aroma dan merasakan udara di sekitarnya sembari mengayuh.

"Kau akan selalu baik-baik saja, Vanessa. Kau perempuan yang kuat seperti kata ibumu," gumamnya menyemangati diri sendiri.

Ia terus mengendarai kendaraan roda dua tersebut, melintasi kebun-kebun anggur yang membentang bak permadani di kaki bukit. Sejauh mata memandang, ia menyadari pergantian musim di Perancis bagian timur memang sangat kentara. Salju tebal yang biasa menyelimuti jalanan tampaknya sudah mencair beberapa minggu ini, sementara bebungaan mulai menampakkan kuntum di atasnya.

Vanessa Jeane-Leibert. Lahir dan dibesarkan di Beacon Hill, Boston. Namun, setelah kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan di Paris, ia memutuskan untuk bermigrasi ke Perancis dan mendiami rumah kecil milik mendiang kakeknya di Alsace.

Kata orang, beruntung kala itu Vanessa tidak ikut orang tuanya ke Perancis dikarenakan ia harus kuliah. Namun, gadis itu tidak menganggapnya demikian. Sebut saja ia tidak bersyukur. Karena, apa yang hebat dari hidup ketika ia harus kehilangan dua orang yang sangat dicintainya?

Bodoh! pikirnya. Seharusnya ia tidak membiarkan mereka pergi, atau memutuskan mengambil cuti kuliah dan memaksa ikut dalam perjalanan tersebut. Seandainya waktu bisa diputar ulang dan kesempatan disediakan, mungkin sekarang ia akan terbebas dari kesulitan-kesulitan yang menghampiri hidupnya. Namun takdir, siapa yang tahu? Ia hanya bisa pasrah dan menjalani semuanya dengan lapang dada. Toh, segala penyesalan itu tidak akan mengembalikan ayah dan ibunya.

Kejadian tersebut membuat Vanessa dipaksa hidup mandiri. Ia mengganti kewarganegaraannya beberapa bulan lalu menjadi penduduk Perancis. Vanessa tak pernah mengenal sanak saudara, barangkali sepupu ibu atau ayahnya, ia tak tahu. Sebelumnya, mereka hanya tinggal bertiga. Maka, ketika Vanessa pindah ke Bas-Rhin, ia hanya dibantu oleh Zeyran Diori Sargent. Teman satu-satunya yang ia miliki di negara ini. Mereka tak sengaja bertemu saat dirinya melihat lokasi kecelakaan orang tuanya kala itu. Zeyran yang menemaninya bertemu konsulat untuk mengurusi perizinan tinggal. Mengantarnya ke Mairie secara berulang-ulang karena sulit sekali memiliki carte de séjour di sana. Prosesnya terlalu berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Itu pun, Vanessa hanya mendapatkan récépissé de damande de carte de séjour, sebagai tanda bukti yang berlaku hanya tiga bulan. Baru kemudian diganti oleh carte permanen.

SURVIVRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang