Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

5

14K 941 15
                                    

Kelopak matanya perlahan terbuka dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah ruang statis putih dengan lampu yang menyorot tajam retinanya.

"Mon dieu!"

"Vanes! Astaga ... kau sudah sadar? Syukurlah!"

Vanessa menoleh ke samping dan mendapati Zeyran tengah menekan tombol interkom untuk memanggil dokter.

"Di mana aku?"

"Apa kau terlihat sedang di toko?" tanya Zeyran dengan nada sarkasme.

Vanessa menggeram, merasakan kepalanya masih berdenyut sakit.

"Aku membawamu ke rumah sakit, sebentar lagi dokter akan kembali memeriksa kondisimu."

Dan benar saja, seorang dokter perempuan memasuki biliknya. "Bonjour!" sapanya ramah.

Vanessa tidak sempat menyahut ketika dokter itu mengeluarkan penlight untuk memeriksa pupil matanya. Kemudian mengarahkan stetoskop pada dada serta perutnya. "Apa Anda merasakan sesuatu, Mademoiselle?"

"Hanya sedikit pusing."

Dokter itu mengangguk. "Sudah berapa—"

"Saya hanya kecapekan, Dok," sela Vanessa, yang membuat Zeyran seketika menoleh.

"Vanessa!"

"Aku ingin pulang, Zey."

"Maaf, Mademoiselle, saya menyarankan Anda untuk melakukan CT-Scan."

Mendengar itu, spontan saja kedua matanya langsung melotot. "Tidak perlu, Dok. Terima kasih. Saya harus pulang."

Dengan tenaga yang masih tersisa, Vanessa beringsut dari atas dipan secara tiba-tiba. Ia hendak melarikan diri, tetapi Zeyran telah lebih dulu menahan lengannya. "Apa yang sedang kau lakukan?" Suaranya meninggi, tak suka dengan tindakan impulsif gadis itu barusan.

Vanessa sedikit berjengit. Ia teringat akan kejadian malam itu, saat Zeyran mengantarnya pulang, membuatnya bertanya-tanya, ada apa dengan pria ini sebenarnya?

Menyadari sikapnya yang keterlaluan, Zeyran menurunkan kembali nada suaranya. "Kau tidak boleh pergi ke mana-mana."

"Aku ingin pulang," ulangnya.

Zeyran menggeleng. "Kau harus diperiksa!"

"Oh ... Dieu! Aku tidak perlu melakukan pemeriksaan apa pun, aku hanya ingin pulang sekarang juga. Bisakah kau membayar biaya administrasinya untukku?"

"Kau butuh obat, Vanes! Dan mereka belum bisa meresepkan obat—"

"Non. Aku tidak butuh obat."

Zeyran berdecak. "Apa kau akan selalu bersikap begini padaku?"

"Yang benar saja, Zey! Seharusnya aku yang berbicara seperti itu padamu!"

Zeyran terdiam mendengar perkataan Vanessa barusan. Sementara dokter yang menanganinya langsung mohon diri ketika melihat perdebatan keduanya.

Bukan tanpa alasan Vanessa menolak untuk diperiksa lebih lanjut. Masalahnya, pekan lalu Dokter mendiagnosa ada tumor jinak yang bersarang dalam otaknya. Vanessa tidak berniat mengabaikan fakta tersebut, kalau sudah punya uang lebih, ia pasti akan melakukan operasi seperti yang disarankan oleh dokter kala itu. Ia hanya tak mau Zeyran mengetahuinya.

"Baiklah," kata Zeyran akhirnya. "Aku akan menurutimu. Tapi aku ingin kau berjanji satu hal padaku."

Vanessa menautkan kedua alisnya, menunggu perkataan selanjutnya dari pria itu.

SURVIVRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang