Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

8

13K 815 26
                                    

Dengan gontai, pria itu memasuki rumah megah tersebut. Dadanya kembang-kempis menahan emosi yang meruah. Kedua matanya memerah diikuti jejak air mata yang sudah mengering. Sementara penampilannya tampak bancuh tak biasa.

"ELIE!!!" teriaknya dengan suara yang lantang.

Wanita berusia sekitar 50 tahun itu berjalan lekas-lekas ke arah sang majikan. Ia menunduk, melihat mata tajam tersebut yang sekan ingin menggeramusnya hidup-hidup.

"Maaf, Monsieur. Maaf! Ini memang kesalahan saya. Seharusnya saya lebih sigap lagi mengurus Madame," ucap Elie pasrah.

Elie melihat Gilbert begitu marah dan sedih. Namun sebetulnya bukan hanya Gilbert yang merasakan kesedihan tersebut. Wanita paruh baya itu telah mengenal Gilbert sejak masih kecil. Elie bekerja dengan kedua orang tuanya. Sebab itu, Elie dapat merasakan apa yang Gilbert rasakan saat ini. Ia tahu bahwa satu-satunya perempuan yang berhasil membuat Gilbert ceria dan menjadi dirinya sendiri adalah Karine, perempuan yang mampu meredupkan keterpurukan dalam hidupnya.

"Aku tidak bisa memecatmu," tuturnya lemah.

Gilbert mengalihkan perhatiannya dari wajah renta itu. Amarah yang membumbung perlahan musnah. Gilbert takkan pernah bisa memecat Elie, meskipun ia sangat marah karena Elie sempat lalai menjaga istrinya, namun ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan Elie. Terlebih sekarang, orang-orang yang disayangi dan menyayanginya mulai berkurang.

Dengan segenap kasih sayang, Elie memeluk Gilbert. Ia tahu pria itu selalu terlihat tegar di hadapan semua orang, tapi sebenarnya, dia begitu rapuh.

***

Terhitung satu bulan sejak Karine meninggalkannya, namun Gilbert tampaknya masih sangat terpukul. Pria itu terus mengurung diri di kamar, menangguhkan pekerjaan serta kewajibannya mengurus Devin. Baik Jesper maupun Amelie, sudah sering menegur. Memang, tidak ada yang bisa bangkit semudah itu setelah kematian orang tercinta. Tetapi jika terus dibiarkan, mereka khawatir keponakannya itu akan mengalami gangguan mental akibat trauma yang membekas. Lebih buruk lagi, melakukan hal nekat.

"Aku kangen Momie," kata Devin sembari memeluk Amelie erat. "Kenapa Momie meninggalkanku?"

Amelie mengusap kepala bocah lima tahun itu dengan lembut. "Momie tidak meninggalkanmu, dia selalu ada bersamamu, Devin."

Devin menggeleng, tak memercayai ucapan Amelie sebab ia melihat sendiri saat ibunya dimakamkan. "Momie sudah pergi. Momie jahat."

"Ssssttt!" desis Amelie seraya menyimpan jari telunjuknya di bibir anak itu. "Kau tidak boleh mengatakan hal-hal seperti itu, Devin. Momie-mu takkan senang mendengarnya."

Devin kembali terisak di pelukan Amelie. Beberapa menit dari itu, Gilbert turun ke lantai bawah dengan pakaian yang sudah rapi.

"Papa!" Devin langsung berlari ke arah Gilbert. "Bibi bilang Momie tidak pergi, Momie—"

"Momie sudah meninggalkan kita, Devin. Dan kau takkan lagi bertemu dengannya," sela Gilbert memotong kalimat anak itu.

"Gilbert!" seru Amelie dengan nada memperingati. Wanita itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Devin yang cemberut. "Kau temui Elie, ya. Bibi harus bicara dengan Papa-mu."

Amelie adalah adik ayahnya Gilbert, tetapi Devin sendiri sudah terbiasa memanggilnya bibi alih-alih nenek. Sama seperti Gilbert.

Devin mengangguk. Ia berlarian di rumah besar itu untuk menemukan Elie.

"Kau tidak boleh berkata begitu kepada anakmu."

Gilbert mendengus mendengar kalimat bibinya. "Aku mengatakan yang sejujurnya. Jangan mengarang cerita bohong untuk anakku! Aku tidak mau dia berharap karena kau mencekokinya dengan omong kosong."

SURVIVRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang