Bab 8

31.2K 1.6K 27
                                    

Hara menyandarkan kepalanya pada dada bidang milik Valdi. Hari ini Hara memutuskan untuk mendatangi Valdi di restoran bistro milik kekasihnya itu yang terletak di Kemang untuk mengadu tentang apa yang terjadi kemarin malam.

Valdi membelai rambut hitam bergelombang milik Hara dan menikmati tekstur yang jemarinya sentuh. Begitu halus namun tebal dan kuat.

"Aku gak tau harus ngejelasin gimana lagi ke kak Hazzi. Kayaknya kakak gak suka banget sama kamu, sayang. Terus kalau aku tanya kenapa, alasannya tuh gak jelas dan gak meyakinkan," keluh Hara.

"Kakakmu komplain apalagi selain tentang penampilanku?" tanya lelaki yang membiarkan rambutnya terurai saat ini, membuat Hara beranggapan bahwa tingkat keseksian lelaki itu semakin meningkat.

"Hmm... Seingatku gak ada lagi. Tapi kata kakakku, intuisinya bilang kamu gak baik dan kamu bawa pengaruh buruk buat aku cuma karena kita pulang lewat tengah malam. Aku gak ngerti deh! Emang kamu ada dosa apa sih, di masa lalu ke kakakku? Sampai kakak gak suka banget sama kamu," ucap Hara yang merasa jengkel lalu melipat kedua tangannya di dada.

Salah satu dari banyak hal yang membuat Valdi menyukai perempuan mungil dalam dekapannya itu adalah meski dalam keadaan kesal pun Hara terlihat menggemaskan. Membuatnya harus pandai menahan diri.

"Tenang, sayang. Selalu ada cara yang bisa dicoba. Kamu harus tau, aku gak akan menyerah atas kamu, apa pun hambatannya," ucap Valdi dengan penuh keyakinan seraya mengetatkan kedua lengannya yang memeluk Hara, seakan menekankan bahwa ia tak akan membiarkan siapa pun merenggut apa yang menjadi miliknya.

***

Keadaan sebuah unit apartment supermewah di kawasan pusat bisnis Sudirman sangat berantakan. Banyak benda tergeletak di lantai dalam keadaan pecah dan terbelah.

Seorang lelaki berdiri di hadapan jendela besar yang mempertontonkan pemandangan malam kota Jakarta. Ia mengepalkan salah satu tangannya yang terluka dan berlumuran darah di sisi tubuhnya.

Dadanya bergerak naik turun dengan cepat mengikuti tarikan napasnya yang memburu. Rahang tegas milik pria itu mengetat kuat hingga terdengar suara gemeretak gigi-giginya.

Seakan tak merasakan sakit sedikit pun dari cedera di tangannya, ia meninju permukaan kaca jendela yang tebal dan tentunya berkualitas hingga menghasilkan retakan yang terlihat jelas.

Tidak mempedulikan telapak tangan dan buku-buku jarinya yang babak belur, lelaki itu memicingkan matanya dan berkata, "Selalu ada harga yang harus dibayar," lalu ia menyunggingkan senyum sinis.

***

Pagi ini Hara sarapan seorang diri. Ia sudah bisa menduga hal ini setelah konfrontasi mereka beberapa waktu lalu akan membuat kakaknya menarik diri.

Hara membatin, 'Jadi siapa yang kekanakan di sini? Kabur-kaburan waktu marah.'

Hara hanya bertopang dagu dan mengaduk oatmeal yang bercampur buah dan susu di mangkuknya tanpa berselera untuk melahapnya.

Meski dirinya merasa kesal pada kakaknya yang sekarang terkesan menghindari dirinya, tetapi rasa tidak nyaman yang mengganjal di kerongkongannya dan rasa sepi lebih mendominasi.

Hara menyadari kalau Hazzi kali ini sangat marah. Hara tahu itu karena sekesal apa pun Hazzi padanya, tidak pernah sekali pun Hazzi mengacuhkan dirinya.

Namun dirinya juga belum mau menyerah untuk meyakinkan kakaknya, apalagi setelah ikrar yang diucapkan Valdi kemarin mampu membuat hatinya lumer seketika dan menyulut kembali semangatnya untuk tidak menyerah pada kemurkaan kakaknya.

Tetapi, bagaimana pun, cara Hazzi menghindarinya tetap mampu mengubur setengah dari semangatnya. Kakaknya itu jadi melipatgandakan kesibukannya dengan berangkat pagi buta dan baru kembali lewat tengah malam.

Memikirkan hal itu dan kemungkinan lainnya membuatnya khawatir, merasa bersalah, dan menyesal. Pusing dengan pikirannya sendiri, Hara mengacak rambutnya.

Pemandangan tersebut tertangkap oleh mata Genika yang kebetulan memasuki ruang makan.

"Adek kenapa? Adek pusing?" tanya Genika dengan nada suara dan alis yang berkerut khawatir sambil menyentuh punggung Hara.

Hara terkejut karena ada yang menangkap basah dirinya, "Hah? Nggak kok, bu. Aku gak pusing atau sakit. Aku cuma lagi pusing aja.. Eh! Bingung, maksudnya."

"Emang adek bingungin apa?" tanya Genika yang kini bereaksi lebih santai dengan mulai menata peralatan makan di meja makan.

Bagi Hara, Genika sudah seperti ibu kedua. Dirinya pun memanggil Genika dengan sebutan 'ibu' karena perempuan itu sudah menjadi pengasuh Hara dan Hazzi sejak lama dan merawat mereka dengan baik dan penuh kasih. Bahkan sampai sekarang, meski kedua orang tuanya telah tiada.

Setelah menimbang untuk bercerita atau tidak, Hara pun memilih untuk menceritakan perasaannya saat ini pada Genika.

"Aku bingung, bu. Kak Hazzi jadi pulang malam terus sejak kami berantem kemarin-kemarin itu. Terus aku jadi kepo, jam berapa kakak berangkat dan pulang belakangan ini? Apa sih, yang kakak kerjain di perusahaan sampai harus kerja kayak kesetanan begitu? Terus, apa kakak makan dengan teratur dan berapa jam kakak tidur?"

Kegiatan tangan Genika terhenti sejenak, lalu ia menatap Hara dengan ekspresi tak terbaca sebelum mengulas sebuah senyum yang terlalu cepat menghilang.

"Mana ibu tau kakakmu gimana? Kenapa gak coba adek cari tau? Tapi ibu yakin kakakmu baik-baik aja."

"Benar juga ya. Kenapa gak aku cari tau aja? Biar gak khawatir gak jelas begini!"

Sedikit pencerahan yang diberikan Genika membuat Hara jadi sedikit lebih bersemangat untuk melahap sarapannya dan tidak sabar untuk melaksanakan idenya.

***

Sudah hampir sebulan Hazzi 'melarikan diri' dari Hara. Ia butuh waktu untuk sendiri, mengatur emosi, sekaligus menghindari konfrontasi agar tidak terjadi lagi.

Satu hal yang Hazzi tidak sukai dari kesamaan dirinya dan Hara adalah mereka sama-sama keras kepala dalam mempertahankan idealisme mereka.

Ia sangat memahami adiknya yang pastinya belum gentar meski ia sudah meluapkan amarahnya. Ia harus memutar otak untuk membuat Hara sadar bahwa dirinyalah yang benar.

Memikirkan urusan rumah membuat Hazzi--yang melamun dengan posisi kedua tangannya bertaut seperti membentuk sebuah menara--tersadar bahwa ia sudah bersikap tidak profesional karena membawa urusan pribadi di dalam pikirannya hingga ke lingkungan kerja.

Tepat setelah Hazzi mendesah, telepon di mejanya berdering. Suara Nalin menyapa dari seberang sana. Mengingatkan jadwal kerja Hazzi untuk setengah jam berikutnya.

Suara renyah dan merdu milik asistennya itu membuat Hazzi terpikirkan sesuatu. Ia pun meraih sebuah kalendar duduk di meja kerjanya.

"Nalin, tanggal dua puluh sembilan Mei nanti kamu ada waktu? Aku punya sebuah permintaan," ucap Hazzi yang kemudian disanggupi oleh Nalin.

Sister PsychomplexWhere stories live. Discover now